Minggu, 06 September 2009

8. Mobil Ilegal

'Hello, Chantik, lagi ngapain? kok seharian nggak on sih ? sekarang lagi ngapain ? pasti mikirin aku ya kan ? Tenang aja, aku masih disini dan juga sedang mikirin kamu kok.. Malam Cantik, mimpi indah ya...Jangan lupa mimpiin aku, Muuach..'

Sms dari panggeran Chat ku masuk. Udah malam, bisa ku balas besok. Hari ini hari yang sangat melelahkan. Bukan, bukan hari ini tetapi sejak kemarin. Aku harus istirahat malam ini, kalau tidak aku bisa tumbang esok.

Semua yang terjadi hari ini kembali berputar dalam ingatanku. Semuanya, sejak aku sarapan pagi, ceramah yang tak menentu di hadapan karyawan, meeting yang membosankan, rahasia bang Jun, dan polisi yang mengobrak-abrik data showroom, plus cara mereka menanyaiku seolah aku penjahat yang telah memasok mobil secara ilegal.

Tetapi setidaknya tidak ada bukti kalau showroom kami terlibat kejahatan. Karena memang tidak ada yang melakukan kejahatan seperti yang mereka tuduhkan. Tetapi tetap saja aku akan mereka tanyai lagi atas temuan mobil bodong itu.

Ku tarik selimut dan mencoba untuk memejamkan mataku. Sesaat kemudian mataku terbuka lagi.Ooh sit, kenapa aku begitu resah ? Cha, kamu harus tidur, tidak ada lagi waktu sekarang, waktu akan terus berjalan, dan aku tidak akan bisa menghentikannya. Jadi stop untuk memikirkan yang lain. Sekarang tidur. Ok tidur. Tidur. Tidur...**

"Anda tidak bisa mengelak lagi, mobil itu dibeli dari showroom anda, atas hal ini anda akan kami tahan, dan anda harus ikut kami untuk menjalani pemeriksaan di kantor," tampang penyidik yang kali ini datang ke showroom lebih galak dari sebelumnya. Bahkan dia dengan tegas mengatakan bahwa mobil-mobil itu dibeli dari showroom kami.

Aku diborgol dan ditarik paksa ke kantor polisi. Karyawanku yang ku harapkan bantuan hanya menonton adegan itu. Aduw, tiba-tiba high hill ku nyangkut di lubang tepi selokan sebelum masuk mobil polisi. Aku limbung dan gubrak, aku terjatuh.

Auw..badanku sakit. Dan huhh.. untung hanya mimpi. Aku bangun dari tidurku yang ternyata aku jatuh dari tempat tidur. Huff, ku hembuskan nafas sembari mengucap syukur beberapa kali, karena semua yang terjadi itu hanya mimpi.

Kulihat jam dimeja, ternyata sudah pukul 5 subuh. Aku bergegas mencuci muka, sholat subuh dan lari pagi.

Satu belokan, dua belokan..hm kok aku merasa ada yang aneh ya? ku putar pandanganku. Biasa-biasa saja. Masih sepi dan hanya ada beberapa warga yang lari pagi sepertiku. Semua bapak-bapak. Tapi kenapa aku merasa aneh pagi ini ? Apa mungkin karena mimpi semalam aku jadi paranoid ? Huuuff.. kuputar tubuhku untuk berbalik.. duk..
"Au.."
"Maaf..maaf ya.. bang..saya nggak lihat tadi," aku lansung minta maaf sembari melihat penuh selidik kepada sosok pemuda itu. Sepertinya aku pernah melihatnya.
"Nggak apa-apa," ujarnya lansung pergi. ***

"Bu Icha, saya bisa bicara dengan anda di ruangan tertutup?"
"Sure. Please!"
Hari ini bukan dua penyidik yang kemarin menyambangi kantorku, melainkan utusan dari Polda Kombes Harri Purnomo. Aku mengenal pria ini, karena wajahnya acap muncul di berbagai media lokal maupun nasional.
"Meta, kalau ada telpon atau tamu bilang saya sedang keluar !" pesanku pada sekretarisku. Dia lansung tanggap dan mengerti jikalau aku sedang tidak mau diganggu.
"Maaf mbak, kita bisa membicarakan hal ini tidak dikantor ini ? Kami kuatir hal ini akan bocor kepihak lain, karena ini adalah rahasia yang harus dijaga,"
"Baiklah, saya ikut saja. Saya akan membantu semampu saya," jawabku mantab. Aku meraih gagang telpon, gerakanku lansung ditahannya.
"Sebaiknya jangan,"
"Baiklah," kamipun menuju pintu keluar.
"Meta, saya makan siang dulu, tolong batalkan jadwal saya yang ada hari ini,"
"Rapat dengan HRD untuk evaluasi pekerja bagaimana bu ?"
"Jadwalkan saja dulu, pastikan saja semuanya ready saat saya kembali," kami berlalu.
"Sekretaris ibu, Meta sudah lama disini ?"
"Sekitar dua tahunan, kemarin saya sudah tanyakan kepadanya tentang mobil itu. Infonya seperti yang saya ceritakan kemarin,". Pria yang ku taksir berusia 40 an, mungkin 43 ini sekilas mengangguk-anggukan kepalanya.
"Mungkin nanti kami membutuhkan keteranga dari beberapa pekerja anda, termasuk sekretaris anda," ujarnya sembari masuk kedalam mobil yang sedang parkir di depan kantorku. Aku mengikuti.
"Saya tidak keberatan, asalkan sesuai prosedur. Karena kami juga sedang butuh orang," jawabku sesaat setelah duduk dan memasang safety belt.
"Showroom sebesar itu bukankah banyak peminatnya?"
"Oh itu.. Kebetulan saat beberapa hari yang lalu ada yang habis kontrak dan ada yang keluar. Situasinya mendadak, jadi kami belum sempat membuka lowongan,".
Hening. Mobil yang kami tumpangi berbelok menuju warung padang kecil di kawasal Lubuk Baja. Tempatnya sedikit tersembunyi, tetapi cukup ramai peminatnya.

Kami turun dari mobil. Ternyata yang dituju bukan warung padang itu, tetapi kami harus berjalan lagi kebelakang bangunan itu. Sekitar 20 meter, kami memasuki sebuah rumah bercat biru muda.

Kedatangan kami lansung disambut penghuni rumah. Aku lansung menyalami seorang wanita berusia sekitar 62 tahun mengenakan daster hijau tua motif bunga-bunga. Kepalanya ditutupi sebo warna hitam. Panggilannya Mak Idah. Seorang lagi laki-laki lebih tua, dan sedikit agak nyanyuk. Panggilannya Mak Etek. Ternyata mereka adalah pemilik warung padang tempat sebelum kami masuk.

Aku lansung dibawa ke ruang makan berukuran 4 x 3. Kursi dan meja dari kayu jati di cat mengkilap. Meja dialasi taplak mini dan dilapisi plastik bening, membuat ruangan yang sederhana itu menarik. Tidak banyak pernak pernik di dindingnya, hanya terdapat beberapa foto keluarga. Disebuah sudut terdapat peti dengan tinggi semete. Diatasnya terdapat beberapa porselen hias.

Sambil makan kami berbincang-bincang ringan. Lauknya yang enak tidak membuatku berselera. Selain aku yang tidak suka berbincang saat makan, juga karena banyaknya pikiran-pikiran yang berkecamuk di benakku.

Selesai makan, penyidik Harri mengajak aku kebagian lain rumah.

"Jadi Bu Ica anak tunggal?"
"Ya, begitulah pak,".
"Kalau begitu Izura dan Rahman bukan saudara kandung?"
"Oh..itu sepupu saya, saat ini kami tinggal bersama," jawabku.
"Saya pernah berjumpa di beberapa kesempatan dengannya ! Kenapa dia nggak meneruskan bisnis ayahnya ?".
"Saya juga tidak mengerti. Sebenarnya dia di sini diminta untuk membantu saya di Showroom, tetapi dia justeru asyik dengan buah-buahannya dan anak asuhnya,". Aku langsung teringat dengan anak jalanan yang kini direkrut bang Jun untuk menjadi rekannya berdagang.
"Tentu sulit ya menjalankan bisnis sendiri !".
"Sulit memang, tetapi saya memiliki tim yang cukup bisa diandalkan karena kematangan mereka yang telah lama bekerja dengan papa,"
"Termasuk Brinto ?".
"Ya, termasuk dia,"
"Saya pernah bertmu dengannya beberapa kali sewaktu membeli mobil disini, dia banyak membantu saya,"
" Oh ya ? Dia memang baik, tetapi sedikit cerewet, terutama pada karyawan," timpalku.
"Saya rasa wajar dia seJadi, sekarang dia seperti itu untuk mendisiplinkan karyawan. Ngomong-ngomong dimana dia sekarang ?".
"Dia ke Medan membantu papa disana,".
"Jadi, hanya berapa lama dia disini? setahu saya dia masi baru !".
"Nggak juga, dia sudah ada disini sejak Showroom buka. Sudah kebiasaan papa begitu Showroom buka baru, pak Brinto yang ditempatkan untuk mengelolanya, hingga ditemukan seseorang yang bisa dipercaya mengelola perusahaan,".
Aku terdiam saat Mak Idah dan Mak Etek menghidangkan kami kue basah dan buah. Ku pilih jeruk sebagai pencuci mulut.
"Di Medan buka Showroom baru ?"
"Oh nggak, kebetulan bisnis papa yang disana ada masalah. Pak Brinto diminta untuk mengatasi. Tadinya papa berniat memintanya ke Bandung, untuk mengelola kebun disana, tetapi karena showroom sedang bermasalah di Medan, papa memintanya kesana dulu," Aku meletakkan sebagian jerukku.
"Showroom di Medan bermasalah ? bukannya yang disana masih baru? Kalau tidak salah saya belum genap dua tahun,".
"Iya, sayangnya saya belum mendapatkan informasi rinci tentang masalah yang terjadi. Tetapi kemarin papa sempat menyebut-nyebut tentang surat-surat palsu.., oh ya ampun, bagaimana mungkin,"
Aku terhenti bercerita dan menyelidiki mimik penyidik ini. Baru ku sadari ternyata sedari tadi dia telah mengumpulkan informasi yang diinginkannya dariku.
Ia menatapku penuh selidik. "Sebaiknya ceritakan saja apa yang anda rasakan saat ini, itu akan sangat membantu kami," ujarnya.
"Bukan begitu, tetapi saya merasa ada yang janggal dengan masalah mobil ini. Apakah sebaiknya kita balik ke kantor saya dan kembali membaca laporan penjualan itu ?" usulku.
Harri Purnomo bangkit dari kursinya. Akupun berniat berdiri mengikutinya. "Tunggu sebentar," ujarnya sebelum aku berdiri. Niat untuk mengikutinya dan kembali ke kantor tertunda. Aku duduk sendiri.

Bagaimana mungkin aku tidak menaruh curiga tentang hal ini. Papa sengaja menyembunyikannya dariku. Dan penempatan aku di Showroom serta tidak adanya ketegasan agar bang Jun sengaja dibiarkan.

to be continued

7. Setreesss

"Cha, aku boleh masuk nggak?" Bang Jun nongol di kamarku setelah makan malam. Sudah kebiasaanku, usai makan malam, aku lansung ke kamar, dan nggak bakal keluar lagi kecuali mau minum atau hal-hal penting lainnya.
"Masuk aja," jawabku.
"Gi ngapain Cha?"
"Nih, lagi meneliti laporan bulanan, ada apa bang? kok nggak biasanya?" penasaran dengan kedatangan Bang Jun yang tidak biasanya.

"Abang mau ngobrol bentar, tapi baiknya jangan disini, nggak baik," ujar Bang Jun, lansung keluar dari kamarku.

Ya. Memang nggak baik ngobrol ama cowok dikamar. Itu adalah prinsip keluarga kami sejak dulu, kecuali saudara kandung. Bang Jun, juga. Dia adalah sepupuku, yang dalam agama Islam bisa dinikahi. Jadi peraturan tak tertulis itu juga berlaku untuknya.

Kuikuti Bang Jun kearah taman belakang. Persis disamping kolam ikan koi dia berhenti dan menghadap kearahku.

"Masih banyak yang mau di periksa?"
"Aa? Oh, lumayan, Icha baru mengerjakan," jawabku gelagapan. Aku bersandar disalah satu tiang rumah. Hm, sudah lama aku tak menikmati malam yang penuh bintang ini. Setidaknya sejak aku masuk di Showroom.

Aku memperhatikan mimik bang Jun, benar kata mama kalau dia lagi berpikir begitu dia sangat mirip papanya. Persis malah.

"Ca, aku rasa kamu sudah mendapat kabar dari om kalau mulai besok aku akan menggantikan Pak Brinto di Showroom. Kamu tau, sebenarnya aku tidak setuju dengan permintaan papamu. Dan aku juga percaya tanpa Pak Brinto ataupun aku, kamu pasti bisa mengendalikan showroom sendiri. Bukan begitu Cha?"

Oh tuhan, dia bertanya sambil tersenyum padaku. Dan itu bukan senyuman yang ku inginkan. Senyuman itu sangat dingin, lebih dingin dari suhu di kutub utara ataupun selatan sana. Aku tau itu sangat hiperbola, tetapi aku tidak tahu lagi andaian apa yg cocok untuk menggambarkannya. Yang jelas aku tidak menyukainya.

"Meskipun itu benar, aku masih berharap abang mau membantuku. Karena terusterang saja, aku kewalahan sendiri, dan aku sangat ingin lepas dari belenggu ini." Dia mengerutkan kening tak mengerti.

"Ya, mungkin abang gak percaya, tetapi itulah kenyataanya. Saya ingin keluar dari Showroom, dan saya ingin abang sebagai orang yang di tunjuk papa untuk menggantikan saya."

"Kok jadi begini sih? Sayakan disuruh hanya untuk bantu kamu, bukan menggantikan. Kenapa kamu berpikiran saya akan menggantikan mu ? Kok kamu kecil hati begini?"

"Maksud abang apa?"

"Kamu nggak suka saya kerja di showroom, bilang aja. Nggak usah pakai acara bilang mau keluar!"

"Aku nggak nyangka ya, penilaian abang segitu buruknya ke aku, sekarang terserah abang mau kerja di showroom apa tidak. Kalau begini kenyataanya, ku peringatkan sebaiknya abang tak usah kerja di showroom, atau aku yang keluar dari sana.!!".

"Yah, memang sebaiknya begitu." Dia pergi.

Brengsek, rencanaku berantakan. Hayalanku untuk lepas dari belenggu tanggung jawab yang diberikan papa berakhir sudah. Impianku untuk memiliki butik tertunda lagi. ***

Mataku rasanya perih. Semalaman aku tidak tidur, memikirkan rencanaku selanjutnya. Rencana yang bebas dari belenggu tanggung jawab papa.

Meeting pagi ini serasa lebih berat ku jalankan. Meskipun enggan, aku terus saja ngoceh sana sini kepada karyawanku. Astaga, aku semakin mirip dengan pak Brinto yang terlalu banyak pengarahan. Tetapi apa boleh buat, kepalaku rasanya mumet, aku harus mengeluarkan semua yang ada di dalamnya. Alhasil, ceramahku memakan waktu lebih dari setengah jam. Showroom yang biasanya buka tepat pukul 09.00 pagi, harus tertunda hingga pukul 10.30.

Usai ngoceh sana sini, aku menuju ruang kerjaku. Baru menghenyakan pantat di kursi tiba-tiba Ani salah satu cleaning service masuk dan menawarkan aku minuman.

"Saya mau di buatkan kopi ginseng, dan jangan lupa air putihnya," pesanku. Iapun bergegas keluar meminta pesananku.

Meskipun dengan mata yang pedih dan sedikit bengkak karena tidak tidur semalaman, aku masih bersemangat kerja. Malah lebih bersemangat dari sebelumnya. Pukul 11.15, aku sudah duduk di ruang meeting membicarakan rencana cuci gudang spare part. Usai meeting pukul 13.20 meeting berakhir. Waktu makan siang ku manfaatkan untuk keluar dari showroom dan keliling Batam. Memasuki kawasan Batu Aji, perumahan yang padat dan jalanan berlobang, serta debu tebal. Tak heran kalau akhir-akhir ini pemberitaan mengangkat penderita Ispa yang sangat tinggi. Karena memang debunya begitu tebal.

Aku meminta Andi untuk masuk ke kawasan pasar Aviari. Suasana pasar sudah lengang. Yang tampak hanya sejumlah pedagang yang sedang membereskan dagangannya. Dibagian lain terdapat segerombolan pedagang buah tertawa-tawa. Mereka begitu senang bergurau dengan sesamanya. Sementara aku, sejak pagi belum tertawa sedikitput. Mak lampir sekalipun akan tertawa, meskipun tawanya menyeramkan.

Benarkah aku seperti Mak lampir yang di katakan Bang Jun? Bang Jun? bukankah itu bang Jun. Tapi, nggak mungkin. Oh Tuhan, itu Bang Jun. Dia membawa dua keranjang kosong dan membantingkannya ke salah satu meja kosong disamping kelompok penjual buah yang tadi tertawa. Bang Jun bergabung disana. Ikut tertawa.

"Kita turun mbak ?" Andi ternyata memperhatikanku dari tadi. Dan menawarkan agar aku turun. Mungkin maksudnya agar aku melihat lansung aktifitas Bang Jun.

"Itu memang Mas Jun Mbak, dia jualan buah," ujar Andi tampa ku minta.

"Sudah sejak kapan kamu tahu hal ini ?"

"Sejak Mas Jun balik dari Padang, dia memang jualan buah, tepatnya toke buah".

"Toke ? masa ? Berapa banyak anak buahnya ?"

"Wah, saya nggak tau mbak, yang jelas banyak. Belasan, bahkan mungkin lebih dari dua puluh,".

"Sebanyak itu ?" Pertanyaanku hanya di jawab senyum tipis oleh Andi.

Kalau memang anak buahnya sebanyak itu, berarti dia cukup sukses juga. "Kamu tau berapa banyak kedainya?"

"Wah saya nggak tau mbak, tetapi setau saya kedainya ada di sini, di Batam Centre, di Nagoya dan Jodoh. Tetapi saya nggak tau jumlah pastinya," ujarnya.

Pantesan dia nggak mau mengelola showroom. Sekarang aku baru tahu kalau dia juga memiliki pekerjaan sesuai keinginannya. Pakaiannya yang selalu lecek, bau itu telah mengelabuiku selama ini. Aku nggak menyangka anak orang kaya seperti dia mau bekerja di pasar menjadi penjual buah, dan rela kulitnya gosong. Padahal dia tak kalah gantengnya dengan model-model di majalah ataupun artis-artis sinetron di televisi itu.

"Andi, kita balik, siggah dulu Rumah Makan Pak Raden. Kita makan disana," instruksiku pada Andi. Tak ingin menunda rasa laparnya terlalu lama, Andi lansung tancap gas.

Jam setengah enpat sore aku sudah duduk lagi di kantor. Kembali menekuni pekerjaanku.

"Bu, ada tamu dari kepolisian," ujar Meta, sekretarisku melalui telepon.

"Suruh masuk," ujarku.

'tok.tok.tok' "Permisi bu,"

"Masuk".

"Selamat sore Bu Icha, perkenalkan saya Bagas, penyidik dari Poltabes Barelang, dan ini rekan saya Edward dari Polda Kepri. Kami kesini ingin meminta bantuan anda dalam kasus penyeludupan sparepart dan mobil mewah dari luar ke Batam." ujar Bagas sembari memperlihatkan kartu tanda pengenalnya padaku.

Deg-deg, jantungnya berdetak kencang. Tetapi aku masih bisa menahan diri untuk tidak gemetar. "Silahkan duduk," akhirnya kata itu keluar juga dari bibir ku.

Kedua tamuku itu duduk di kusri tamu yang tersedia di bagian kanan meja kerjaku. Aku mengikuti tamuku untuk duduk bersama.

"Maafkan kami bertamu terlalu sore, sebenarnya kami ingin menemui Ibu, setelah rapat tadi, tetapi Ibu lansung keluar?" Ujar Bagas.

"Oh, jadi anda berdua telah lama menunggu saya ?"

"Ya, tepatnya sejak pukul 11.00 tadi pagi. Kami mencoba menghubungi telepon genggam anda tidak aktif," Edward buka suara. Dari cara bicaranya, tampak kalau dia sedang tidak baik-baik saja. Lebih tepatnya gusar.

"Maafkan saya pak Edward, sudah kebiasaan saya kalau rapat mematikan Handpone, saya tidak mau rapat saya terganggu," tegasku.

"Bagaimana dengan pesan kami kepada sekretaris anda tentang kedatangan kami?" tanyanya menyelidik.

"Saya tidak menerima pesan apa-apa dari sekretaris saya. Mungkin karena usai meeting tadi saya lansung keluar, dan dia tidak sempat mengatakannya kepada saya," jawabku sambil menantang tatapan matanya yang tajam, lebih tajam dari mata pisau kearahku.

"Baiklah, kita lansung saja ke pokok persoalan, kami kesini ingin meminta kerjasama ibu atas dugaan penyeludupan mobil mewah dari luar negeri ke sini," Bagas lansung mengarahkan pembicaraan ke topik permasalahan. Ia menghela nafas dan melanjutkan pembicaraannya.

"Saat ini kami sedang menyelidiki kasus penadahan mobil dari luar yang tidak mengikuti prosedur. Dan kami menemukan sesuatu yang mencurigakan di showroom anda. Apakah anda ingat dengan mobil ini?"

Dia menyodorkan mobil buatan Italia buatan tahun 2008 lalu. Aku mengenalinya, itu adalah salah satu mobil mewah yang terbaik yang pernah ku lihat.

"Apa maksud anda dengan ingat ? Saya hanya tahu sedikit dengan mobil, kebetulan jenis mobil itu beberapa bulan lalu kami punya dua, dan sudah terjual keduanya." ujarku.

"Hanya dua ? bagaimana dengan yang ini ?"

"Sejauh yang aku tahu, hanya ada dua, warna itu nggak ada, kecuali di cat baru. Kalau di cat baru, kami pasti tahu, karena masih garansi, coba kami cek di bagian service," jawabku.

Aku berjalan ke samping mejaku, dan menekan nomer Meta, sekretarisku.

"Ya Mbak," suara meta terdengar.

"Tolong kamu panggil Pak Ikmal dan Pak Ahmed ke ruangan saya sekarang," ujarku.

Pak Ikmal adalah manager penjualan dan Pak Ahmed adalah manager bengkel.***

to be continue

6. Bertemu Rudi

Panas yang terjadi akhir-akhir ini di Batam membuatku terus-terusan berada di dalam kantor. Untuk sekedar mencari makan siang pun, rasanya tubuh ini tak bisa diajak kompromi. Alhasil, hampir setiap hari aku makan nasi padang seperti karyawanku. Tentu saja konsekwensi yang aku dapatkan adalah aku harus merelakan berat badanku bertambah hingga 5 kilo...tapi tak masalah, yang penting aku nggak kurus...kalau sempat kurus, maka semua orang bakalan tau kalau aku sedang menderita...menderita banget dengan keadaan ini..dengan tanggung jawab yang diembankan papa padaku..kini aku tak ubahnya seperti seorang wanita yang haus akan uang, tanpa memperdulikan kehiddupan pribadinya...

Hhh...aku menghembuskan nafasku dengan kuat, seolah itu bisa menghapuskan semua kekesalan ini. Ku lihat jam digital di pergelangan tanganku menunujukan pukul 15.11, sebentar lagi solat Ashar, setelah itu akan ada rapat dengan Citra advertising...aku beranjak kekamar mandi untuk wudluk..***

"Mbak, pihak Citra sudah menunggu diruang rapat, mereka datang lebih awal dr perjanjian," ujar Meta sekretarisku.

"Ya sudah, aku segera menyusul, suguhkan mereka minuman dan snack dulu," ujarku yang dituruti dengan anggukan oleh Meta.

Akupun membereskan berkas proposal yang telah diajukan Citra advertising tiga hari lalu. Tampaknya ide merka cukup kreatif dalam hal mendesain iklan dan konsepnyapun aku setuju. Tetapi, hal ini tidak bisa kuputuskan sendiri, melainkan harus mendengarkan presentasi mereka, dan pendapat dari pak Brinto sebagai atasan, setidaknya bagiku, karena jabatannya ada dibawahku. Tetapi bagiku dia tetap atasanku.

Selangkah kakiku keluar dari pintu ruangan, aku menemukan Pak Brinto berjalan menuju kearahku dari ruangannya yang berada di lorong kanan.

"Ca, sebelum keruang rapat, bapak mau ngomong dulu. Hm, ca, barusan Bapak mendapat telpon dari papamu, bapak perlu berangkat ke Bandung malam ini juga, ada masalah serius disana. Ini saatnya kamu bekerja sendiri tanpa bapak. Mungkin bapak tidak akan balik kesini lagi, di Bandung usaha Papamu sedang ada masalah besar, jadi Bapak perlu kesana, dia butuh bantuan, sebagai gantinya, kamu akan satu tim dengan Jun. Kamu jangan khawatir, untuk masalah dagang, dia sudah berpengalaman, kalian bisa berdiskusi dalam mengambil keputusan. Tapi Bapak rasa kamu sudah menguasai apa yang bapak ajarkan selama ini. Tidak akan begitu sulitlah. " ujar pak Brinto panjang lebar.

Hah? mau kerjasama sama Bang Jun? nggak salah tuh? orang awut-awutan gitu mo diajak mengelola showroom? cari penyakit.. ah udahlah, yang penting kuikuti aja dulu apa yang dibilangin Pak Brinto. Urusan nantinya dalam emngambil keputusan bisa dipikirkan nanti.

" oke Cha, bapak siap-siap dulu, habis itu bapak pulang, nanti kalau sudah di Bandung bapak telp," ujarnya sambil menepuk lembut kepala kananku.

"siang, pak Hadi, kelamaan menunggu ya?" sapaku melihat rombongan Citra Advertising yang sedang berbincang-bincang dengan staff ku.

Meta, sekretarisku duduk di kursi bagian kananku, diikuti oleh Hilman, Sanjaya dan Retno dari bagian promosi. Sementara Pak Hadi, pimpinan Citra advertising duduk disebelah kananku, dan tiga orang timnya. Oh my God, bukankah itu Randi ? Gengnya si Enda, penghianat busuk yang telah mempermainkan aku sebagai taruhannya. Parahnya harga diriku disamain dengan sebuah motor. Brengsek. Hm, ternyata dia sekarang bekerja di Advertising? apa ya tanggapannya melihat aku sekarang ? yang jelas-jelas menjadi patner bisnis perusahaanya bernaung. Perusahaan penentu perkembangan perusahaanya, dengan nilai kontrak Rp 506 juta.

Lama aku tercenung kearahnya, eh salah, ke arah si brengsek itu. Pak Hadi, pria yang ku tahu telah berumur lebih dari setengah abad itupun mendehem keras dan membuyarkan lamunanku.

"Maaf pak Hadi, saya terkaget melihat tim bapak, kalau nggak salah itu Rudi kan, anda masih ingat saya?" mendapat pertanyaan yang mengingatkannya pada peristiwa di taman kampus tiga tahun lalu, Rudi seolah tersentak, dan mengangguk. Sesaat ia menatapku, dan kemudian tertunduk pasrah. Tak tega rasanya aku melihatnya seperti itu.

"Ibu sudah mengenalnya?"
"Oh, iya, kebetulan dulu kami satu kampus, dan pernah ngobrol, cuma dulu waktunya sedikit nggak tepat," ujarku.

"Kalau begitu setelah ini akan ada reuni nih? tetapi kayaknya kami tidak akan memakan waktu lama, karena kami tau ibu sibuk, kita bisa mulai acaranya?"

"Oke, silahkan, hm, sebaiknya lansung ke presentasi saja, karena saya sudah membaca proposalnya, jadi kita tak buang-buang waktu," ujarku menegaskan.

Konsep yang ditawarkan oleh citra advertising sangat menarik minatku untuk menyimaknya. Sehingga waktu meeting yang tadinya kujadwalkan 45 mnit, molor 20 menit, karena aku mengeluarkan berbagai pertanyaan, yang membuatku semakin yakin dengan konsep mereka.

Jam 17 kurang 20 menit, meeting selesai. Tak lupa aku mengungkapkan pujianku atas tim work di perusahaan itu. Setelah bersalaman dan saling melontarkan pujian, aku mengantar tamuku hingga pintu keluar, dan segera bergegas ke ruanganku dan merapikan meja kerjaku untuk bersiap-siap pulang.

Kuraih hp ku, ternyata ada dua message dan lima miscall. Kubuka siapa saja yang telah menelpon dan mengirim pesan untukku. Ternyata yang mencoba menghubungiku papa, empat kali, dan satu lagi Yusuf, cowok narsis yang telah menjadi teman Chatku dan tempatku berkeluh kesah selama ini.

Kubuka pesan yang masuk, ternyata juga dari dua orang itu. Pesan dari papa : "Ass, Ica, papa telpon dari tadi nggak kamu angkat. Papa telpon ke resepsionis dibilangnya kamu lagi meeting. Tapi tak apa-apa. Papa hanya ingin mengabarkan kalau pak Brinto Papa tarik ke Bandung. Ini karena keadaan darurat, kamu kan tau, krisis global sangat mempengaruhi bisnis kita. Rencana papa untuk buka cabang baru di palembang batal, papa harap kamu disana bisa kerja sama dengan Izura. Papa dan mama sehat, sekarang kami lagi di medan, kamu jaga diri baik-baik. Kami sayang kamu. wass."

Sms kedua, Yusuf Chat, "Cha...Cantik, kemana aja sih? aku kangen nih mau chat ama kamu...chat dong..masa nggak kangen sih sama aku, cowok terganteng didunia ini..." Dasar, nih cowok emang narsis habis...bikin gemes dan ngangenin untuk bercanda dengannya..

Ku buka laptopku, ternyata dia mengirimiku seikat bunnga, plus balon..dan berbagai image yang lucu-lucu...ternyata dia masih online...

"Eh cowok norak, dah sore nih, aku mau pulang...aku capek, nggak ada waktu lagi buat chat," balasku

"Cantiku sayang, kerjaan itu jangan diforsil, ntar mukanya keriputan lo...oke deh sayang, kamu pulang deh, mandi air panas, makan malam, habis tu tidur...jangan lupa mimpiin aku, pasti besoknya seger lagi.."

"ye..ini dari tadi juga udah mau pulang kok..
Uh, ngarep", balasku sedikit kesel. Meski kesal, aku dibuatnya tersenyum. usai ku shut down, laptop kumasukin tas dan kujinjing pulang.

Yusuf adalah satu dari sekian banyak teman chatku. Aku menjalin persahabatan lewat dunia maya sudah hampir 4 tahu. Ku suka darinya adalah sikap to the poinny. Yang paling penting dia sopan dan nggak macam-macam. Juga nggak pernah ngajakin ketemuan seperti teman chat laimnya. Hal inilah yang membuat aku betah chating sama dia. Karena sikapnya yang to the poin sama aku, aku juga bicara blak-blakan sama dia, tanpa merasa malu sama sekali. Karena persahabatan yang sudah lama terjalin, aku memberanikan diri untuk memberinya nomer telpon ku. meskipun begitu, kamu hanya sesekali telpon-telponan. lebih banyak chating. Telpon dan sms biasanya hanya untuk janjian chat.

Banyak hal yang kami diskusikan, mulai dari ngobrolin artis, politik, hingga cara kami menilai seseorang.. kami selalu nyambung. Ketika aku sedang sibuk, masuk sms nya yang mengatakan kalau wajahku sangat menakutkan, seolah-olah dia bisa melihatku yang sedang stress.. kemudian keluarlah lelucon dan saling ledek antara kami, sehingga rasa stres pekerjaan hilang.

Aku sadar, chatng hanya pelarianku untuk mencari sedikit lelucon dalam hidup ini. Bagaimanapun di dunia nyata aku adalah seorang yang cuek, sehingga orang2 disekitarku menganggapku orang yang serius, pendiam, bahkan mungkin Mak Lampir: yang menakutkan seperti yang digelarkan Bang Jun dan Rahman padaku.

Aku sedih, sangat sedih mendapat gelar itu dari mereka. Mungkin karena aku terlalu tegas pada mereka, sehingga membuat mereka begitu takut kepadaku, lebih tepatnya aku menakutkan bagi mereka. Tetapi, apapun yang mereka gelarkan, aku hanya ingin mereka lebih baik.****

to be continue

5. Terjebak

Fuih, akhirnya aku sampai juga di rumah, setelah seharian berkutat dengan berbagai pekerjaan di showrom. Sebenarnya aku tidak mau menerima apa yang ditugaskan pada ku. Tetapi, keadaan tidak memungkinkan aku lepas dari tanggung jawab. Gaji pekerja harus dibayar, sebelum itu aku harus audit dulu pembukuan dan berbagai laporan lainnya, tentunya harus ada tanda tanganku. Begini deh jadinya, aku sampai di rumah setelah jam 9 malam, pastinya orang-orang dirumah sudah pada selesai makan malam..

Cuapek banget. Apalagi yang ku lakukan kalau sudah begini kalau tidak berendam di kamar mandi dengan air panas dan memakai minyak zaitun. Aromanya yang khas akan menghilangkan keletihaan ini.

Tiba-tiba pintu kamarku di ketok, aku yang masih berbusa-busa nongol di pintu kamar mandi, ternyata mak datang dan mengabarkan bahwa nasi dan lauk sudah tersedia di meja. Akupun cepat-cepat menyelesaikan mandiku, karena memang perutku sudah sangat keroncongan. Usai sholat Isya, aku turun kebawah.

Keningku lansung berkerut ketika melihat tiga orang duduk di meja makan, mereka tidak lain Bang Jun, Rahman, dan Mak. "Belum pada makan ya?"

"Iya neng, mas Jun dan Rahman sudah nungguin dari tadi, kayaknya mereka udah pada laper nih,".

Tanpa banyak bicara, nasi yang kuambil kusantap. Keheningn tercipta saat makan. Yang terdengar hanyalah bunyi sendok beradu dengan piring dan bunyi kunyahan kami. Aku menikmati makan malam ini, tanpa bersuara tentunya. Usai makan tanpa banyak cakap aku kembali naik ke kamarku.

Paginya aku ketiduran. Aku baru terbangun pukul 06.15, akupun tergesa-gesa mengambik wudhu, sholat subuh. Jadwal yang sempat kususun semalam berantakan. Aku yang seharusnya joging pagi, harus buru-buru pergi kekantor untuk mencek pekerja, sesuai amanat papa.

Di shoroom aku melihat Pak Brinto memberi pengarahan pada pekerja. Seperti yang sering ku saksikan dulu, Pak Brinto tak henti-hentinya memberi nasehat agar pekerja bekerja dengan ulet. Tak heran bagi pekerja-pekerja di Bandung ia digelar dengan sebutan Pak Nyinyir, tentu saja gelar itu hanya untuk kalangan pekerja saja, tanpa diketahui pak Brinto. Meskipun begitu, ia adalah pria yang sangat bertanggung jawab pada pekerjaanya, dan menjadi orang kepercayaan papa.

Akupun diminta untuk memberikan pengarahan. Karena sudah melihat wajah-wajah mereka yang sudah bosan dengan nasehat pak Brinto setiap hari, aku tidak mau memberi mereka ceramah lama-lama. "Saya harap kalian bisa bekerja dengan hati, dan lakukan yang terbaik," itulah kata-kata yang ku ucapkan pada mereka. Tampak diantaranya menghembuskan nafas lega. Mungkin takut terlalu lama berdiri. Pak Brinto pun membubarkan kumpulan pekerja yang tak lebih dari 20 orang tersebut.***

Tanggung jawab yang ku lakukan dalam bentuk pengabdian pada amanat papa ternyata berlanjut hingga dua bulan. Selama itu pula aku seolah lupa dengan impianku. Dan ternyata komunikasi di rumah tidak baik denganku. Aku seolah sendiri dirumah. Bang Jun dan Rahman selalu diam ketika dimeja makan, ketika aku pulangpun mereka sedang asik dengan dunianya. Aku kesepian.

Tak seorangpun peduli padaku. Papa sibuk dengan urusan bisnisnya di daerah lain, mama mengikuti kemana papa pergi. Aku benar-benar terjebak dengan limpahan tugas yang diberikan papa.

Tak pernah terpikirkan aku akan seperti ini. Hidup bak wanita karir yang hanya mengejar kesuksesan tanpa memikirkan yang lainnya. Hidupku berobah total. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan orang terhadapku saat ini, yang jelas mereka pasti mengiraku adalah wanita yang ambisius. It's not me.

Menyadari itu, aku paranoid sendiri. Pelan tapi pasti aggapan aku bak robot semakin lekat begitu melihat tatapan Rahman, Bang Jun dan Mak Yan yang tanpa ekspresi padaku. Dan mungkin mereka seolah menganggap aku sebagai orang yang perlu ditakuti. Bak kucing dibawakan lidi, mereka lebih memilih diam. Bicara jika kutanya. Aku diam, mereka turut diam. Aku tersiksa.

Sarapan pagi, ku perhatikan mereka yang makan tergesa-gesa. Ku suap nasiku pelan-pelan. Ternyata mereka juga mengikutinya. Oh, Tuhan, apa yang terjadi. Begitu meyeramkannyakah aku ?

Pandanganku kabur, air meleleh di mataku. Buru-buru ku seka. Kuputuskan untuk mengakhiri sarapan pagi itu dan akupun berangkat kerja......

to be continue

4. Kebaikan Bang Jun

Usai mandi, aku baru keluar kamar sekitar pukul 18.15, tentunya dah selesai sholat magrib dunk. Meskipun sedikit capek habis muter-muter Batam Centre, Nagoya, pegal juga badan ini. Tetapi lumayan, habis mandi dengan air panas, rasa letih itu sedikit berkurang.

Aku menghampiri Mak Yan yang sedang menata meja makan. "Masak apa mak ? banyak amat, kayak ada hajatan aja," ujarku yang melihat banyaknya lauk yang dimasak, padahal yang dirumahkan tak berapa orang, kecuali dimasukin kucing-kucing tetangga, mungkin bakalan rame...hehehe becanda.

Tentu saja aku melotot, bagaimana tidak, lihat aja di atas meja, nasi sebakul gede, lauknya empat macam, ada ayam goreng, ikan asam pedas, rempela goreng kentang, dan rendang. Apa gak seperti ngasi makan se RT coba. Padahal yang mau makan cuma empat orang, aku, Rahman, Bang Jun, dan Mak Yan.

"Hm, kayaknya enak ni, makan-makan, Man, makan, cepat, ntar gak kusisain baru tahu rasa," tiba-tiba sesosok pemuda kurus kering muncul dari lantai atas. Astaghfirullah, rambutnya masih basah, ketara sekali baru selesai mandi. Dibelakangnya menyusul seseorang yang tingginya sebahuku, tak jauh beda dengan sosok yang pertama, rambutnya belum kering, bahkan masih menetskan air. Mungkin tak dikeringkan dulu sebelum turun. Keterlaluan.

"Eh, apa-apaan ini, berantakan gitu sudah mau makan, mandi itu yang benar, kayak orang nggak makan seminggu aja," ujarku seraya menghalangi Bang Jun yang hendak mencomot ayam goreng.

"Enak aja, inikan sudah selesai mandi, masih kecium wanginyakan? lapar-lapar," selah tidak menghiraukanku, .Bang Jun berusaha merebut ayam yang masih kubuat menggantung diudara. Tentu saja aku kalah sama dia, karena tangannya yang kurus itu panjang dan berhasil menjangkau ayam goreng ditanganku. Tentu saja aku kelabakan dibuatnya.

"Abang, mandi itu yang sempurna, masa masih basah-basah gitu udah mau makan, di keringkan dulu rambutnya, ini juga, sama aja dua-duanya, kayak orang kelaparan kali, Rahman, kamu ngertikan, sekarang kembali keatas, keringkan dan sisir rambutmu baru makan, kalau tak ingin ku laporin ke mama dengan tingkah kalian yang tak tau sopan ini, " ujarku.

Dari pandanganku, awalnya Rahman mau memprotes, tetapi akhirnya dia diam begitu di kode oleh bang Jun untuk ke atas.

"Man, yuk balik, ada nenek lampir, ntar kita diaduin ke mama lagi. Kamu mau nggak dikasi uang jajan," ujarnya sambil berlari. Fuih, dasar...

"Mereka selalu begitu ya Mak?" tanyaku ke Mak Yan.
"Ah nggak kok neng, baru kali ini begitu," ujar Mak Yan sedikit gugup.
"Benar begitu Mak, Mak nggak usah sekongkol sama mereka, nggak ada gunanya, sudah besar nggak ada sopan santunnya gitu," ujarku kesal karena Mak Yan seolah melindungi dua orang yang menyebalkan itu.

Tiba-tiba aku sudah nggak mood untuk makan. Aku memutuskan untuk keluar membawa mobil..mungkin mencari makananm. Aku sudah tak mood lagi untuk makan dirumah.

"Mau kemana neng? nggak makan dulu, ntar makanannya keburu dingin," ujar Mak Yan menegurku.

"Mak makan aja dulu bareng yang lain, saya nggak napsu makan, mau cari angin dulu," ujarku berlalu.

Meski gerakanku cepat, aku masih smepat melihat mimik Mak Yan ingin berkata sesuatu, teapi ia urungkan. Dan akupun melangkahkan kaki lebih cepat untuk keluar ruamh. Syuku-sukur mencari makan diluar. Dari pada dirumah, ngebetein.

Sekitar pukul 22.15 aku sampai dirumah, kulihat tiga orang itu sedang asik menonton televisi, entah apa yang ditontonnya, mungkin sinetron yang ceritanya nggak karu-karuan itu. Yah memang, beberapa tahun belakangan sinetron di Indonesia lebih mengarah ke eksploitasi anak, memaksakan anak untuk berakting jauh lebih dewasa dari usianya yang seharusnya. Sudah gitu, begitu rating sinetron itu mulai naik, sutradara dan produsernya seolah bersekongkol untuk memperpanjang jalan ceritanya sehingga tak karu-karuan...dan yang penting tidak banyak mendidik...

"Assalamualaikum..." salamku begitu tiba beberapa langkah dari mereka.

"Walaikumsalam," jawab mereka seolah tak bagitu peduli, karena muka mereka tak beranjak dari tivi. Aku tak menghiraukan respon mereka yang tak acuh itu, akupun menhempaskan diri di kasur dan akhirnya tertidur karena kelelahan.

'Tok, tok, tok, neng," ketukan pintu diiringi suara Mak Yan membangunkanku. Kulihat jam di pergelangan tanganku menunjukan pukul empat subuh, aduh kepala rasanya masih terasa berat.

"Astaghfirullah, aku belum sholat Isya," ujarku kaget.

Tanpa menghiraukan Mak Yan yang telah membangunkanku, aku langsung berlari kekamar mandi untuk wudhu yang kemudian sholat isya. Begitu selesai sholat aku sudah tak melihat wajah Mak Yan lagi. Akupun penasaran dan menyusulnya yang ternyata sedang membuat sayur.

"Mak tadi kesaya ada apa ya?" ujarku sembari bertanya kearahnya.

"Eh eneng, sebenarnya mak cuma mau minjam mobil untuk pergi belanja ke pasar pagi sama bapak. Boleh neng?" tanyanya.

Mendapatkan pertanyaan begitu aku lansung ketawa. "mak ini gimana sih, kan biasanya mak pergi belanja pakai mobil itu, kenapa harus minta ijin sama saya dulu, memangnya eraturan dirumah ini sudah berubah ya mak?"tanyaku sembari mengambil air minum di dispenser.

"Anu, neng, mak cuma tidak ingin membawa mobil tanpa ijin, selama inikan Mak Ijinnya sama ibuk, sekarang nggak ada ya sama Neng," ujarnya.

"Oh, ya udah, bawa aja, hati-hati dijalan, bilangin sama bapak untuk pastiin mobil terkunci sebelum masuk kedalam pasar, ntar masuk maling lagi, sekarang inikan orang mudah saja baginya untuk mencuri mobil," uajrku.

"Ya neng, mak berangkat dulu" ujarnya lagi sembari berlalu.

"Mak, jangan lupa bawa kunci, saya mau keluar," ujarku dipintu. Kemudian ngeloyor kekamar untuk mengambil mukena. Aku sholat subuh ke masjid, dan setelah itu mau lari pagi biar segar.***

Begitu sampai dirumah, pukul 6.30 pagi, kulihat mak sedang mencuci mangkok. dan, ya ampun begitu banyak piring yang kotor. Aku penasaran, siapa sih yang makan sampai segitunya.

"Mak, kok mangkuknya banyak sekali, memangnya berapa orang yang makan? tanyaku.

Yang ditanya malah tersenyum kearahku. "Menurut Neng siapa?" ujarnya sembari memberi tunjuk alisnya kepada kearahku. Disaat itu aku melihat bayangan Bang Jun dan Rahman melintas menuju depan.

"Sampai segitunya Mak? jadi yang mak masak semalam itu juga untuk mereka. Mak, mereka jangan dimanjain gitu, jangan berlebihan. Diluar sana banyak orang yang kelaparan karena nggak sanggup beli beras dan lauk, ini hanya untuk mereka disuguhin lauk yang beraneka ragam," ujarku sedikit keras.

"Maaf Neng, bukan maksudnya mak menyela, lauk yang semalam juga nggak dihabisin semua oleh mereka,"

"Lantas dikemanain? nggak ada lagikan sekarang!" ujarku.

"Nah itu dia yang mak nggak tau neng, yang jelas makanan itu di bungkus, tapi mak tak tau dibawa kemana," ujar Mak Yan.

"Ya sudah, pokoknya mak jangan masak banyak lagi tanpa seijin saya, saya mau cari dulu untuk apa makanan itu," ujarku yang kemudian beranjak ke kamarku dan mandi. usai sarapan pagi, aku meluncur ke shorum kami di Nagoya.

Lama tak ke Shorum, ku lihat sudah banyak perubahan yang terjadi disana. Selain pembongkaran sekat-sekat yang dulunya terdapat di lantai dasar, juga telah terjadi perombakan besar-besaran seperti penambahan lantai sebanyak dua tingkat ke atasnya. Gedung yang sebelumnya hanya dua lantai itu kini sudah empat lantai, dan nampak sedikit megah, meskipun tidak semegah shorum yang ada di Pekanbaru.

Memasuki shorum aku disambut oleh seorang sales promotion girl yang langsung menyambut kedatanganku sembari mempersilahkan duduk di kursi tamu. Sepertinya pegawai ini tidak mengenalku, dan akhirnya kuputuskan untuk menguji service tamu di showrum itu.

"Ada yang bisa kami bantu bu? atau ibu mau melihat-lihat brosur kami dulu, kalau mau mobil terbaru ini bu, kalau yang ini model terbaru, baru keluar sebulan yang lalu, ini sangat cocok dikendarai oleh wanita, stok terbatas lo bu," ujar sales tesebut sembari memperlihatkan sebuah mobil yang ku tau memang keluaran terbaru.

Selagi asik-asiknya bertanya ini itu kepada sales yang memang cantik itu, pundaku di tepuk oleh seseorang dari belakang.

"Ca kapan balik, gimana dengan nilai-nilainya? baguskan? bagus dong, ayo ke dalam," ujar Pak Brinto.

Melihat pak Brinto aku lansung menyalaminya. "Apa kabar pak? ternyata bapak masih di Batam, bukannya di tarik ke Jakarta?" tanyaku.

"Bapak sudah sejak empat bulan ini di Batam, Bapak diminta papamu untuk menggantikan dia selama persiapan pembukaan shorum di Palembang. Oh ya, kamu mau lansung bekrja hari ini atau melihat-lihat saja dulu. Berkenalan dengan staff, sini bapak ajak keruanganmu," ujarnya mengajakku untuk beranjak ke lantai atas.

Tentu saja ajakannya itu membuatku heran. Bukannya aku disuruh papa hanya mengontrol showroom saja? bukan total bekerja. Lagipula aku punya impian sendiri, dan bukan bekerja di showroom papa.

"Pak, kata siapa saya akan bekerja disini? saya hanya ditugasin papa untuk mengontrol saja, bukan bekerja seperti yang bapak bilang," ujarku yang menahan ajakan Pak Brinto.

"Baiklah, tetapi sebaiknya ini kita bicarakan di ruangan saya, tak enak didengar kariawan," ujar Pak Brinto memberi solusi. Akhirnya ku mengikutinya menuju lift untuk ke lantai atas.

Sebenarnya penolakanku untuk tidak bekerja di showroom papa bukan tanpa alasan yang jelas, hal itu dikarenakan aku tidak mengerti banyak tentang otomotif. Selain itu, aku juga ingin membuka usaha sendiri yang dimuali dari hal kecil, dan bukan mengandalkan usaha orang tua semata. Hal ini sebenarnya sudah lama menjadi topik perselisihanku dengan papa.

to be continue

3. Imah

Meoung, meoung, meong. Lamunanku dikagetkan nada dering meongan kucing di handponeku. Imah, adik sepupuku yang juga kuliah di Singapura. Selama disana, kami berdua menyewa apartemen dikawasan Yisun. Imah anaknya sederhana, bersahaja dan apa adanya. Beda jauh denganku yang super modis, dan lebih menonjolkan keseksian bodiku yang memang bak bodi model, tetapi nggak seronok.

Sedangkan Imah, meskipun dia juga memiliki bodi yang gak jauh beda denganku, tetapi tak banyak yang tahu tetap menutup rapat-rapat hal itu. Karena memang dia mengenakan gamis dan kemana-mana menggenakan jilbab lebar. Udah gitu gamis yang digunakannya itu tidak hanya satu lapis, melainkan ada lagi pakaian di dalamnya. Pokoknya ribet. Tetapi pemandangan itu sudah terbiasa bagiku selama tiga tahun tinggal bersama.

Meskipun dia orang yang 'alim', tetapi tak seperti kebanyakan orang yang pernah ku temui sewaktu aku masih kuliah di Batam dulu. Mereka yang mengaku lebih mengetahui agama dengan cara menggenakan gamis, terkadang terlalu memandang rendah terhadap orang lain yang tidak sama dengannya. Tak jarang mereka membuang muka begitu melihat perempuan lain yang menggenakan pakaian seksi. Selain itu, diantara mereka yang kalau diajak ngobrol sinis, bahkan ada yang ketus.

Beda jauh dengan Imah yang bernama lengkap Muthmainah Azzahra itu. Ia anak om Ibrahim, kakak ibu nomer dua. Diatasnya ada Bang Jun, Izura Eka Ahmed Ibrahim, sedangkan si bungsu yang terakhir aku ketemu lima tahun lalu bernama Rahman Ahmed Ibrahim masih berusia lima tahun, mungkin kini sudah besar, bisa jadi sudah kelas lima SD.

Imah anak periang, meskipun di hadapan kalayak ramai ia terkesan pendiam. Hal itu katanya untuk menjaga image orang mukmin, karena sesungguhnya apa yang dilakukan orang mukmin lainnya akan menjadi gambaran tentang orang mukmin lainnya bagi orang-orang non mukmin.

Gadis yang pernah menimba ilmu di sebuah ponpes ternama di Jawa Timur itu dalam berbicara sangat lembut. Yang tentu saja berbanding terbalik dengan aku yang lebih banyak juteknya. Tetapi, begitu melihat dia marah, ketegasan keluar dari bibir mungilnya.

Pernah suatu kali aku mengerjainya saat bercanda dengan mengangkat jilbabnya dari belakang, kala itu aku hanya berniat mengusilinya, karena dia begitu serius membaca buku saat menunggu bus menuju kampus.

Melihat hal itu tentunya orang-orang yang berada di halte melihat kearahnya. Saat dia menyadari dirinya menjadi objek kejahilanku, dia hanya diam dan membenarkan jilbabnya. Tetapi jangan disangka hal itu selesai begitu saja. Begitu kami bertemu di rumah, dia lansung menegur aku.

"Kak, kita boleh bercanda, tetapi jangan jadikan aurat sebagai bahan untu dibecandain, sama saja kakak menghina saya," ucapnya sembari duduk di tempat tidur.

Meskipun sedang marah, tetapi cara bicaranya tetap lembut, tetapi begitu ku perhatikan lebih dalam, ternyata dia sempat meneteskan air mata. Melihat itu, aku lansung merangkulnya dan meminta maaf. Sejak itu, sungguh aku tak berani menjadikan apa yang disebutnya dengan menjaga aurat, menjaga kesopanan untuk dijadikan bahan candaan.

"Assalamualaikum," terdengar suara di seberang yang mengagetkan lamunanku.

"Waalaikum salam, Mah, akan udah nyampe, tapi belum ketemu sama Om, kakak lagi dirumah, nanti malam kakak kerumah Imah," ujarku yang tanpa menunggu tanggapan darinya.

"Kak, kayaknya kakak nggak bisa sampaikan pesan Imah ke Papa, karena tadi pagi papa dan mama ke Bandung, ada proyek yang harus diselesaikan disana. Tetapi Imah dapat kabar kalo Abang Jun di Batam sekarang. Dia sudah pulang dari Padang, dan mungkin akan menetap lama di Batam. Mama minta agar hal ini disampaikan ke Akak," terdengar tarikan nafas Ima.

"Mama minta agar kakak sedikit memperhatikan abang, karena kata mama, akhir-akhir ini dia seperti orang stress, berantakan, kalau bisa kakak tolong nasehatin dia untuk lebih rapi, dan ingatkan agar dia makan teratur," cerocos Imah.

"Kakak, oleh-oleh yang dari Imah untuk dia tolong jangan dikasi dulu, nanti Imah kabari lagi kapan akan diberikan, udah ya kak, Imah ada kuliah ni, nanti Imah hubungi lagi. Assalamualaikum". tut.tut.tut.

Belum sempat aku menjawab salamnya, telepon sudah dimatikan. "Waalaikum salam," jawabku.

to be continue

2. In Memorian

Hampir tiga tahun lamanya aku melanjutkan kuliahku di Singapura. Meski bukan kampus pavorit, setidaknya aku enjoy kuliah disana. Hitung-hitung melupakan kenangan buruk sewaktu kuliah di Batam.

Meskipun tiga tahun tak kembali ke Batam, ternyata tak begitu banyak perubahan yang berarti. Jalanan masih begitu saja tanpa ada perubahan yang berarti. Hanya saja terdapat perumahan-perumahan baru di lokasi yang dulunya hutan. Yah seperti itulah daerah yang sedang berkembang. Pemerintah sudah tidak memikirkan lagi keseimbangan alam, yang ada hanya bagaimana caranya agar banyak investor dan pemasukan untuk daerah. Urusan jika nantinya terjadi banjir akan menjadi urusan pemerintahan berikutnya. Setidaknya hal itulah yang banyak terjadi di kota-kota berkembang di indonesia.

Sehari di Batam, rasanya pegal juga kaki ini untuk mengelilingi tempat-tempat pavorit yang dulu pernah kusinggahi dengan Enda. Ada dimana si brengsek itu ya? Apa dia masih bersama teman-temnnya yang tak kalah brengsek itu?

Mereka memang brengsek, karena ulah mereka, akhirnya aku bertekuk lutut demi Enda, bahkan untuk mengenang kenangan itu rasanya ingin aku melempari mereka dengan telur yang telah dibusukin selama berbulan-bulan. Begitu hebat rasanya sakit hati ini untuk membalas semua tindakan mereka yang sangat menjijikan itu.

Tetapi demi harga diri, hal itu tidak kulakukan. Jika aku melakukan itu, maka mereka akan tahu betapa sakitnya hati ini. Aku lebih memilih untuk pindah kuliah ke negeri berlambang singa yang tak jauh dari Batam ini, ketimbang harus berhadapan dengan muka mereka yang sangat memuakkan itu setiap hari. Betapa sakitnya.

Aku tak tahu apa pendapat mereka tentang kepindahanku ke Singapura. Tetapi setidaknya aku sudah menjalani kuliah selama sebulan setelah kejadian yang sangat menyakitkan itu.

Sehari setelah Enda menyatakan keinginannya untuk putus dariku, aku masih berfikiran positif padanya. Aku mengira alasannya untuk putus dariku agar ia bisa tenang menjalani kuliah setelah foto-foto kami yang terlanjur beredar di mading gosip. Setidaknya setelah orang-orang tau kami telah putus, maka kosentrasinya tidak terganggu lagi untuk menjalani kuliah. Karena memang pada dasarnya kami tergolong kedalam anak-anak yang pintar. Kami berdua memiliki kesamaan. Kuliah gratis, selama kami bisa menunjukan prestasi yang bagus di kampus, dan itu sudah berjalan selama dua smester.

Akan tetapi fikiran itu lansung hilang begitu aku mendengarkan lansung apa yang dibicarakan Enda, Rendi, Ikmal dan Ramli di belakang kampus. Mereka tidak lain membicarakan aku.

"Trus gimana dengan Lisa? sudah lo putusin? gimana reaksinya?" suara Ikmal.

"Belum bro, aku kesulitan berhadapan dengan dia, emang kayak si Enda nih, yang to the poin, lansung bisa putus, kayaknya aku bakalan kalah nih!" sambut Ramli.

"Kalau begitu kesempatan Enda untuk menang semakin besar nih. Pacaran seminggu lansung putus, bukti nyatanya juga cepat beredar, foto ciumannya itu lo yang gak tahan melihatnya. Benar-benar mesra wak", timpal Rendi.

"Sayangnya ciumannya bukan frenc kiss, cuma pipi doang, coba sempat, motor gua melayang wak," balas Ramli.

"Tetapi gua tetap mecahin rekorkan! motor elo Ran, tetap buat gue. Elo sampai sekarang belum juga bisa mutusin Ani. Lo cinta banget ama dia?"

Astaga, suara yang terakhir adalah suara arjunaku yang manis. Saat itu juga darahku lansung naik ke ubun-ubun. Ibarat film kartun, mungkin saat ini mukaku sudah merah padam. Tetapi aku masih bisa menahan persaan ini.

Plok!Plok!Plok. Tiba-tiba saja datang sebuah keberanian di diriku untuk muncul dihadapan mereka. Tepukan tanganku membuat mereka terkejut setengah mati. Tak terkecuali arjuna brengsek ku itu.

Saking kagetnya, ia sampai berdiri melihat kehadiranku. Tetapi dengan santai aku langsung merangkulnya.

"Ternyata kalian disini, gimana? dah dapat motornya En,? elo kan janji mau ntarktir aku setelah memenanngkan taruhan ini. Gimana? kapan dibayar? yang udah kalah ngaku dong, gak usah ngulur-ngulur waktu," ujarku yang kembali membuat keempatnya bengong.

"Maksudnya apa End? Elo mainin kita? jadi kalian belum putus? kalau begitu perjanjian kita batal" Tegas Ramli sembari berdiri.

"Jadi selama ini kamu mainin kita? payah lo. Cemen. Kita kira elo benar-benar suka sama dia, dan bisa meninggalkan dia disaat cinta kalian masih bersemi. Nyatanya, elo nggak lebih dari pembual, elo tipu kita mentah-mentah. Berarti laptop lo buat kita," ujar Ramli yang kemudian merebut tas milik Enda.

"Eh, kalian apa-apan sih, kok jadi begini!" ujar Enda panik.

'Lho, bukannya Enda sudah menang, kami benaran putus kok, harusnya kalian yng kalah. Kalian dong yang harus nyerahin taruhan kalian ke Enda. Bukan sebaliknya," ujarku ikut campur.

"Kamu licik, tak fair, kalau begitu perjanjian kita batal, tak ada yang menang," ujar Randi yang tentu sja ingin mempertahankan motor tigernya.

Aksi ngototpun berlansung seru.

to be continue

1. Mading Gosip

Seluruh kampus tahu, aku pacaran dengan Endra. Baru memang, tapi toh, semuanya juga sudah tahu, jadi tak ada yang perlu disembunyikan. Begitu cuekku ketika acapkali mata-mata orang yang lalu lalang disekitarku melihat kemesraan yang kami timbulkan. Iri, begitu aku menyebutnya.
Kami baru pacaran seminggu lalu. Yang menyatakan cinta pertama kali aku. Minggu pertama jadian, banyak yang bertanya siapa yang menyatakan cinta duluan, tentu saja aku jawab yang menyatakannya aku. Dan itulah aku. Tanpa rasa malu, aku pasti akan mengatakan apa yang aku rasakan, dan whatever-lah tentang pendapat orang lain. It's me, not Ussy.
Kini setelah seminggu kami pacaran, foto-foto mesra kami pun beredar di mading gossip. Begitu kami menyebut untuk mading yang tidak dipajang dipapan mading, melainkan di tempat-tempat ilegal seperti tembok kampus, bahkan selebaran yang memuakkan sekalipun. Pagi itu aku baru saja memasuki gerbang kampus, hampir semua mata di areal kampus itu menuju kearahku. Awalnya aku tidak mengerti, namun setelah aku melihat salah satu bagian di kampus yang dijadikan mading gosip, akupun menyadari bahwa mereka menertawakanku. Bahkan ada yang terang-terangan mengejekku.
Dengan wajah yang dibuat se kalem mungkin aku menghampiri seorang cewek yang sedari tadi tersenyum mengejek kearahku.
"Kenapa? iri? nggak senang? " ujarku seolah menantang cewek yang belakangan aku tahu namanya Erlita, semester 6 jurusan Ekonomi Umum.
Mendapat ucapan yang menantang, Erlita yang kala itu menggenakan high hill lansung berdiri dan membusungkan dadanya padaku. Ia yang tadinya duduk ditangga mendadak tinggi, karena aku berada 3 tangga dibawahnya.
"Heh, aku nggak level ya dengan cara kamu, menyebar foto murahan kayak gitu," ujarnya.
"O.. itu murahan ? Emangnya yang mahal kayak mana ? Eit, jangan-jangan kamu lebih ya ? Dengan siapa ? ". Pertanyaanku yang terakhir tentu saja membuat mahasiswa yang lainnya yang tanpa aku sadari telah mengelilingi kami tertawa. Hal itu membuat muka Erlita merah dan berbalik meninggalkan arena dengan menerobos paksa kerumunan. 'Mampus kau' pikirku.
Ternyata ledekan dan sindiran yang aku dapatkan tak hanya sampai disitu. Begitu memasuki pelajaran pertama Kalkulus, aku juga disindir Mr. Handoko. Menurutnya, di fakultas Ekonomi terdapat banyak anak yang salah jurusan.
"Sepertinya di kampus kita ini banyak yang salah jurusan. Sepertinya banyak yang berbakat menjadi wartawan infotainment, dan juga artis, yang menyebabkan kampus ini tak pernah sepi dari gosip," ujarnya.
Mendengar ucapannya itu, tentu saja aku mengerti bahwa dia sedang menyindirku, atau itu cuma perasaanku. Tetapi yang memang sifatnya aku, aku malah cuek dan berlagak tidak tahu saja.
Tetapi itu tidak berlansung lama. Tatkala ia kembali menyindirku disela-sela menerangkan mata kuliah, aku membalasnya.
"Pelajaran itu perlu diulang, sekarang sudah tidak ada waktunya untuk bermain, apalagi membuat sensasi yang aneh-aneh. Jangan hanya berminat pada gossip dan membuat gosip saja, tetapi pelajaran juga," ujarnya.
Mendengar ungkapan Mr. Handoko, sejumlah mahasiswa tertawa sembari melihat kearahku. Sadar dengan hal itu akupun membalas.
"Pak, Bapak berminat menjadi tukang gossip?" tanyaku. Panas juga kuping ini mendengarnya.
"Atau bapak mau jadi sumber gosip?" kejarku. Disambut tawa dan siulan mahasiswa yang hadir. Wajahnya lansung memerah.
Kemudian ia menatap tajam kearahku. Diperlakukan begitu aku pura-pura tak tau sembari menulis pelajaran di papan ke buku.
Mendapati tanggapan dingin dariku, ia membalas. "Saya tidak butuh publikasi, tanpa dipublikasikanpun, saya sudah dikenal kok di kampus ini," ujarnya ketus.
Menyadari dirinya yang telah keluar jalur dari tanggung jawabnya sebagai dosen, berbalik dan kembali melanjutkan menulis, hingga akhirnya bel pergantian kelas berbunyi. ***

Ketika jam istirahat tiba, aku keluar dari ruangan Kalkulus, dan berusaha mencari-cari arjunaku. Hm, ada dimana dia ya? Segera ku ambil DOPOD HTC SHIFT ku, dan ku dial nomer dia. Tak berapa lama terdengar sahutan dari seberang.
"Lagi dimana yang?"
"Di perpus".
"Yang, makan yuk!"
"Duluan aja, aku lagi nyari bahan kuliah nih".
"Tapi yang,.."
"Dah aku lagi di perpus nih, ntar orang pada marah. Nanti pulang kuliah tunggu aku di gerbang." Dan sambungan pun terputus. Tegas, tak suka bertele-tele, itulah Enda, arjuna tampanku, yang tampannya melebihi Justin Timberlake...bagiku,..hheheh.
Tapi aku nggak berlebihan kok, emang arjunaku itu tampan. Yang paling kusuka dari wajahnya adalah sorot matanya yang tajam dipadu dengan alisnya yang tebal. Ketika menatapnya, membuat jantungku berpacu dengan detik jarum jam, dan menggetarkan tubuh ini. Dan aku akan memeluk dia, didadanya..tercipta kedamaian, dan akupun terbang ke alam mimpi...oh indahnya..

Seperti instruksinya, usai kuliah pukul 14.05, aku nangkring di bawah poon jambu yang terletak dibagian selatan gedung kampusku. Arjunaku belum juga tampak, sementara mahasiswa dari fakultas Akutansi dan Ekonomi sudah mulai memadati jalan.
Kuraih DOPOD HTC SHIFT di kantong tas ku. Akupun mulai memainkan game yang terdapat didalamnya.
Cape main game, aku putuskan untuk memasukan lagi hapeku kedalam tas, dan betapa kagetnya aku ternyata arjunaku sudah duduk di salah satu dahan jambu.
"Sejak kapan duduk disitu? kok nggak negur?"
"Habis, kamu lagi asyik main game!"
"Ya maaf, ku kirain bakalan lama nunggu kamu, makanya aku main game."
"Ca, kamutuh sudah bukan anak-anak lagi, jangan terlalu sering main game, apalagi di tempat umum kayak gini, childis banget."
Dengan sedikit cemberut, aku mengamit tangannya. "Kan aku dah selesai main gamenya, kita mau makan dimana?"
"Bukannya kamu sudah makan jam istirahat tadi?"
"Aku nggak jadi kesana, males, habisnya disana kan sarangnya orang-orang sirik.."
"Ya udah, kita cari tempat yang sepi aja untuk ngobrol," ujarnya sembari berlalu. Aku mengikutinya dengan langkah terburu-buru, karena memang langkah dia lebih cepat dari langkahku.
Ternyata tempat yang dituju Enda, kolam ikan di Stan Osian, kawasan perumahanku. Kamipun turun dari Jaguar Enda menuju salah satu bangku yang terdapat di tepi kolam itu. Tempat itu tempat pavorite ku.
"Kita putus," ujar Enda.
"Putus? apa aku nggak salah dengar?" ujarku yang tentu saja tak mengerti dengan Enda. Baru kemaren kami jalan bareng, dan setahuku tak ada masalah yang berarti yang mengancam hubungan kami. "Maksud kamu apa, kenapa kita putus? Aku salah apa sama kamu?"
"Aku hanya ingin kita putus." ujarnya dingin.
"Tapi kenapa Nda? kita tidak punya masalah apa-apa kan?"
"Aku hanya ingin kita putus, nggak ada alasan apa-apa, aku hanya ingin mengakhiri hubungan kita itu aja."
"Masak nggak ada apa-apa kamu mutusin aku. Kamu punya cewek lain?"
Enda diam.
"Apa karena mading sialan itu?"
"Itu salah satunya."
"Jadi ada yang lain?"
"Kamu tak perlu tahu apa alasannya, yang jelas kita putus," Enda kembali menegaskan.
"Ya tapi kenapa sayang? kamu beneran punya cewek lain, sejak kapan?" air mata sudah mulai jatuh dipipihku. Enda diam.
"Aku nggak ada punya cewek selain dari kamu, tetapi aku mau kita putus. Hapus air mata kamu, di luar sana masih banyak cowok yang bisa kamu jadikan pacar, jadi tak perlu menangis"...

to be continueRata Penuh
To be Continue..