Senin, 11 Agustus 2008

i love u Mr

I love u,,,My Boss
Senyummu,
Kerlingan,
Tatapanmu,
Tegapnya badanmu..Ku suka
I love u
Suaramu,
Menggetarkan dada Tatkala suaramu meninggi, emosi merasuki diri
Marah pun tak terkendali..
Tapi,
I love u Mr
Disaat marahmu,
Hardikanmu,
Membuat ku gila,
Yang kutahu
I love u

Di Angkot Itu..

Ada-ada saja perangai manusia yang ana jumpai setiap hari selama menjalani pekerjaan. Kemaren (Rabu, 23 Juli 08) ana bertemu dengan seorang yang bernama Hardi. Ngakunya sih bekerja di salah satu PT. di Muka Kuning. Karena dia ingin berkenalan, ya ana ladani aja. Itung-itung nambah teman. Kala itu ana ada di angkot. Awalnya sih basa-basi, nanyain tempat kerjaan dia dimana, dan dia menjawab di muka kuning, dan emang ana sedikit banyak tau tentang PT disana.
Karena ana merasa udah cukup bertanya kedia tentang hal yang umum dan sekedar basa basi, anapun memutuskan untuk diam dan nggak bertanya lagi. Dan itupun dimanfaatkannya untu bertanya ke ana. Dia nanya tempat tinggal hingga kerjaan.
Awalnya ana nggak mau ngaku kalau ana wartawan. Tetapi, karena salah satu teman wartawan nelpon dan ngomongin tentang berita, akhirnya ana ngaku juga wartawan, tetapi bukan lansung ngomong ana wartawan, tetapi kerjaan ana cuma nanya-nanya saja. Ternyata dia penasaran, dan akhirnya ana mengiyakan kalo ana wartawan.
Nggak tau kenapa, akhirnya tu orang sibuk muji-muji kerjaan wartawan, dan muji ana juga. Mulai dari kata-kata hebat, pokoknya ana jadi nggak streg begitu dengar dia ngomong memuji-muji setinggi langit gitu, ya ana cuekin dan pura-pura dengerin aja. Yang lebih menjengkelkan, dia tuh ngomongnya urakan sembari merokok yang tiada hentinya. Bayangin aja, dari ana naik di simpang Tembesi Pos hingga Batam Centre habis rokok 3 batang, udah gitu asapnya kayak asap kereta api aja... Eh, ujung-ujung dari pujiannya, dia minta duit. Bikin gondok. "Wartawan itukan kaya-kaya, jadi tak ada salahnya dong bagi-bagi ke saya," ujarnya. Trus mesem-mesem saya bilang, la, Bang, emangnya siapa yang miskin didunia ini. "Saya, ujarnya," "Emangnya mas miskin apa?" "Ah adek ni, Saya miskin tak ada uang dek" ujarnya. "Kalau tak ada uang, dari mana dapat rokok?" "Ya, inikan sedikit," "Ya. Tapi sedikit sedikit tiap hari, sebulan juga jadi banyak," ujarku. Setelah ana jutekin gitu, bukannya dia diam, eh malah nyeletuk. Kalo nggak ngerokok dia bisa pusing.
Ana tambah keki dibuatnya. "Mana yang pusing nggak merokok dengan pusing nggak punya uang?"
"Wah adek ini benaran wartawan (lha emang wartawan kan!). Tapi beneran dek, aku miskin," ujarnya lagi.
"Mas itu bukan miskin, tetapi ingin miskin," ujar ana cuek. "Nggak lah, mana ada aku ingin miskin," ujarnya.
Karena malas berdebat lagi dan juga ana dah mau turun di Masjid Raya menuju Pemko, akhirnya ana bilang gini, "Kalau mas emang pernah makan bangku sekolahan, mas pikirin aja deh, ntar dapat jawaban sendiri," ujar ana.
Habis dengerin jawaban ana itu dia bukannya diam, malah semakin sewot dan meracau. Karena ana udah gerah, jadi cuek dan memandang keluar. Sementara dia entah apa yang di omonginnya. Malunya lagi, penumpang yang lain pada ngeliatin kami. Tapi sebelum turun ana sempet di bisikin kernet, 'Lain kali orang kayak gitu nggak usah diladeni'. Menanggapi itu ana jadi berpikir. Iya juga ya. Tetapi ana berharap orang seperti itu bisa berpikir kemudian hari dengan kata-kata ana yang terakhir itu. Semoga dia berfikir.