Minggu, 06 September 2009

2. In Memorian

Hampir tiga tahun lamanya aku melanjutkan kuliahku di Singapura. Meski bukan kampus pavorit, setidaknya aku enjoy kuliah disana. Hitung-hitung melupakan kenangan buruk sewaktu kuliah di Batam.

Meskipun tiga tahun tak kembali ke Batam, ternyata tak begitu banyak perubahan yang berarti. Jalanan masih begitu saja tanpa ada perubahan yang berarti. Hanya saja terdapat perumahan-perumahan baru di lokasi yang dulunya hutan. Yah seperti itulah daerah yang sedang berkembang. Pemerintah sudah tidak memikirkan lagi keseimbangan alam, yang ada hanya bagaimana caranya agar banyak investor dan pemasukan untuk daerah. Urusan jika nantinya terjadi banjir akan menjadi urusan pemerintahan berikutnya. Setidaknya hal itulah yang banyak terjadi di kota-kota berkembang di indonesia.

Sehari di Batam, rasanya pegal juga kaki ini untuk mengelilingi tempat-tempat pavorit yang dulu pernah kusinggahi dengan Enda. Ada dimana si brengsek itu ya? Apa dia masih bersama teman-temnnya yang tak kalah brengsek itu?

Mereka memang brengsek, karena ulah mereka, akhirnya aku bertekuk lutut demi Enda, bahkan untuk mengenang kenangan itu rasanya ingin aku melempari mereka dengan telur yang telah dibusukin selama berbulan-bulan. Begitu hebat rasanya sakit hati ini untuk membalas semua tindakan mereka yang sangat menjijikan itu.

Tetapi demi harga diri, hal itu tidak kulakukan. Jika aku melakukan itu, maka mereka akan tahu betapa sakitnya hati ini. Aku lebih memilih untuk pindah kuliah ke negeri berlambang singa yang tak jauh dari Batam ini, ketimbang harus berhadapan dengan muka mereka yang sangat memuakkan itu setiap hari. Betapa sakitnya.

Aku tak tahu apa pendapat mereka tentang kepindahanku ke Singapura. Tetapi setidaknya aku sudah menjalani kuliah selama sebulan setelah kejadian yang sangat menyakitkan itu.

Sehari setelah Enda menyatakan keinginannya untuk putus dariku, aku masih berfikiran positif padanya. Aku mengira alasannya untuk putus dariku agar ia bisa tenang menjalani kuliah setelah foto-foto kami yang terlanjur beredar di mading gosip. Setidaknya setelah orang-orang tau kami telah putus, maka kosentrasinya tidak terganggu lagi untuk menjalani kuliah. Karena memang pada dasarnya kami tergolong kedalam anak-anak yang pintar. Kami berdua memiliki kesamaan. Kuliah gratis, selama kami bisa menunjukan prestasi yang bagus di kampus, dan itu sudah berjalan selama dua smester.

Akan tetapi fikiran itu lansung hilang begitu aku mendengarkan lansung apa yang dibicarakan Enda, Rendi, Ikmal dan Ramli di belakang kampus. Mereka tidak lain membicarakan aku.

"Trus gimana dengan Lisa? sudah lo putusin? gimana reaksinya?" suara Ikmal.

"Belum bro, aku kesulitan berhadapan dengan dia, emang kayak si Enda nih, yang to the poin, lansung bisa putus, kayaknya aku bakalan kalah nih!" sambut Ramli.

"Kalau begitu kesempatan Enda untuk menang semakin besar nih. Pacaran seminggu lansung putus, bukti nyatanya juga cepat beredar, foto ciumannya itu lo yang gak tahan melihatnya. Benar-benar mesra wak", timpal Rendi.

"Sayangnya ciumannya bukan frenc kiss, cuma pipi doang, coba sempat, motor gua melayang wak," balas Ramli.

"Tetapi gua tetap mecahin rekorkan! motor elo Ran, tetap buat gue. Elo sampai sekarang belum juga bisa mutusin Ani. Lo cinta banget ama dia?"

Astaga, suara yang terakhir adalah suara arjunaku yang manis. Saat itu juga darahku lansung naik ke ubun-ubun. Ibarat film kartun, mungkin saat ini mukaku sudah merah padam. Tetapi aku masih bisa menahan persaan ini.

Plok!Plok!Plok. Tiba-tiba saja datang sebuah keberanian di diriku untuk muncul dihadapan mereka. Tepukan tanganku membuat mereka terkejut setengah mati. Tak terkecuali arjuna brengsek ku itu.

Saking kagetnya, ia sampai berdiri melihat kehadiranku. Tetapi dengan santai aku langsung merangkulnya.

"Ternyata kalian disini, gimana? dah dapat motornya En,? elo kan janji mau ntarktir aku setelah memenanngkan taruhan ini. Gimana? kapan dibayar? yang udah kalah ngaku dong, gak usah ngulur-ngulur waktu," ujarku yang kembali membuat keempatnya bengong.

"Maksudnya apa End? Elo mainin kita? jadi kalian belum putus? kalau begitu perjanjian kita batal" Tegas Ramli sembari berdiri.

"Jadi selama ini kamu mainin kita? payah lo. Cemen. Kita kira elo benar-benar suka sama dia, dan bisa meninggalkan dia disaat cinta kalian masih bersemi. Nyatanya, elo nggak lebih dari pembual, elo tipu kita mentah-mentah. Berarti laptop lo buat kita," ujar Ramli yang kemudian merebut tas milik Enda.

"Eh, kalian apa-apan sih, kok jadi begini!" ujar Enda panik.

'Lho, bukannya Enda sudah menang, kami benaran putus kok, harusnya kalian yng kalah. Kalian dong yang harus nyerahin taruhan kalian ke Enda. Bukan sebaliknya," ujarku ikut campur.

"Kamu licik, tak fair, kalau begitu perjanjian kita batal, tak ada yang menang," ujar Randi yang tentu sja ingin mempertahankan motor tigernya.

Aksi ngototpun berlansung seru.

to be continue

Tidak ada komentar: