Minggu, 06 September 2009

8. Mobil Ilegal

'Hello, Chantik, lagi ngapain? kok seharian nggak on sih ? sekarang lagi ngapain ? pasti mikirin aku ya kan ? Tenang aja, aku masih disini dan juga sedang mikirin kamu kok.. Malam Cantik, mimpi indah ya...Jangan lupa mimpiin aku, Muuach..'

Sms dari panggeran Chat ku masuk. Udah malam, bisa ku balas besok. Hari ini hari yang sangat melelahkan. Bukan, bukan hari ini tetapi sejak kemarin. Aku harus istirahat malam ini, kalau tidak aku bisa tumbang esok.

Semua yang terjadi hari ini kembali berputar dalam ingatanku. Semuanya, sejak aku sarapan pagi, ceramah yang tak menentu di hadapan karyawan, meeting yang membosankan, rahasia bang Jun, dan polisi yang mengobrak-abrik data showroom, plus cara mereka menanyaiku seolah aku penjahat yang telah memasok mobil secara ilegal.

Tetapi setidaknya tidak ada bukti kalau showroom kami terlibat kejahatan. Karena memang tidak ada yang melakukan kejahatan seperti yang mereka tuduhkan. Tetapi tetap saja aku akan mereka tanyai lagi atas temuan mobil bodong itu.

Ku tarik selimut dan mencoba untuk memejamkan mataku. Sesaat kemudian mataku terbuka lagi.Ooh sit, kenapa aku begitu resah ? Cha, kamu harus tidur, tidak ada lagi waktu sekarang, waktu akan terus berjalan, dan aku tidak akan bisa menghentikannya. Jadi stop untuk memikirkan yang lain. Sekarang tidur. Ok tidur. Tidur. Tidur...**

"Anda tidak bisa mengelak lagi, mobil itu dibeli dari showroom anda, atas hal ini anda akan kami tahan, dan anda harus ikut kami untuk menjalani pemeriksaan di kantor," tampang penyidik yang kali ini datang ke showroom lebih galak dari sebelumnya. Bahkan dia dengan tegas mengatakan bahwa mobil-mobil itu dibeli dari showroom kami.

Aku diborgol dan ditarik paksa ke kantor polisi. Karyawanku yang ku harapkan bantuan hanya menonton adegan itu. Aduw, tiba-tiba high hill ku nyangkut di lubang tepi selokan sebelum masuk mobil polisi. Aku limbung dan gubrak, aku terjatuh.

Auw..badanku sakit. Dan huhh.. untung hanya mimpi. Aku bangun dari tidurku yang ternyata aku jatuh dari tempat tidur. Huff, ku hembuskan nafas sembari mengucap syukur beberapa kali, karena semua yang terjadi itu hanya mimpi.

Kulihat jam dimeja, ternyata sudah pukul 5 subuh. Aku bergegas mencuci muka, sholat subuh dan lari pagi.

Satu belokan, dua belokan..hm kok aku merasa ada yang aneh ya? ku putar pandanganku. Biasa-biasa saja. Masih sepi dan hanya ada beberapa warga yang lari pagi sepertiku. Semua bapak-bapak. Tapi kenapa aku merasa aneh pagi ini ? Apa mungkin karena mimpi semalam aku jadi paranoid ? Huuuff.. kuputar tubuhku untuk berbalik.. duk..
"Au.."
"Maaf..maaf ya.. bang..saya nggak lihat tadi," aku lansung minta maaf sembari melihat penuh selidik kepada sosok pemuda itu. Sepertinya aku pernah melihatnya.
"Nggak apa-apa," ujarnya lansung pergi. ***

"Bu Icha, saya bisa bicara dengan anda di ruangan tertutup?"
"Sure. Please!"
Hari ini bukan dua penyidik yang kemarin menyambangi kantorku, melainkan utusan dari Polda Kombes Harri Purnomo. Aku mengenal pria ini, karena wajahnya acap muncul di berbagai media lokal maupun nasional.
"Meta, kalau ada telpon atau tamu bilang saya sedang keluar !" pesanku pada sekretarisku. Dia lansung tanggap dan mengerti jikalau aku sedang tidak mau diganggu.
"Maaf mbak, kita bisa membicarakan hal ini tidak dikantor ini ? Kami kuatir hal ini akan bocor kepihak lain, karena ini adalah rahasia yang harus dijaga,"
"Baiklah, saya ikut saja. Saya akan membantu semampu saya," jawabku mantab. Aku meraih gagang telpon, gerakanku lansung ditahannya.
"Sebaiknya jangan,"
"Baiklah," kamipun menuju pintu keluar.
"Meta, saya makan siang dulu, tolong batalkan jadwal saya yang ada hari ini,"
"Rapat dengan HRD untuk evaluasi pekerja bagaimana bu ?"
"Jadwalkan saja dulu, pastikan saja semuanya ready saat saya kembali," kami berlalu.
"Sekretaris ibu, Meta sudah lama disini ?"
"Sekitar dua tahunan, kemarin saya sudah tanyakan kepadanya tentang mobil itu. Infonya seperti yang saya ceritakan kemarin,". Pria yang ku taksir berusia 40 an, mungkin 43 ini sekilas mengangguk-anggukan kepalanya.
"Mungkin nanti kami membutuhkan keteranga dari beberapa pekerja anda, termasuk sekretaris anda," ujarnya sembari masuk kedalam mobil yang sedang parkir di depan kantorku. Aku mengikuti.
"Saya tidak keberatan, asalkan sesuai prosedur. Karena kami juga sedang butuh orang," jawabku sesaat setelah duduk dan memasang safety belt.
"Showroom sebesar itu bukankah banyak peminatnya?"
"Oh itu.. Kebetulan saat beberapa hari yang lalu ada yang habis kontrak dan ada yang keluar. Situasinya mendadak, jadi kami belum sempat membuka lowongan,".
Hening. Mobil yang kami tumpangi berbelok menuju warung padang kecil di kawasal Lubuk Baja. Tempatnya sedikit tersembunyi, tetapi cukup ramai peminatnya.

Kami turun dari mobil. Ternyata yang dituju bukan warung padang itu, tetapi kami harus berjalan lagi kebelakang bangunan itu. Sekitar 20 meter, kami memasuki sebuah rumah bercat biru muda.

Kedatangan kami lansung disambut penghuni rumah. Aku lansung menyalami seorang wanita berusia sekitar 62 tahun mengenakan daster hijau tua motif bunga-bunga. Kepalanya ditutupi sebo warna hitam. Panggilannya Mak Idah. Seorang lagi laki-laki lebih tua, dan sedikit agak nyanyuk. Panggilannya Mak Etek. Ternyata mereka adalah pemilik warung padang tempat sebelum kami masuk.

Aku lansung dibawa ke ruang makan berukuran 4 x 3. Kursi dan meja dari kayu jati di cat mengkilap. Meja dialasi taplak mini dan dilapisi plastik bening, membuat ruangan yang sederhana itu menarik. Tidak banyak pernak pernik di dindingnya, hanya terdapat beberapa foto keluarga. Disebuah sudut terdapat peti dengan tinggi semete. Diatasnya terdapat beberapa porselen hias.

Sambil makan kami berbincang-bincang ringan. Lauknya yang enak tidak membuatku berselera. Selain aku yang tidak suka berbincang saat makan, juga karena banyaknya pikiran-pikiran yang berkecamuk di benakku.

Selesai makan, penyidik Harri mengajak aku kebagian lain rumah.

"Jadi Bu Ica anak tunggal?"
"Ya, begitulah pak,".
"Kalau begitu Izura dan Rahman bukan saudara kandung?"
"Oh..itu sepupu saya, saat ini kami tinggal bersama," jawabku.
"Saya pernah berjumpa di beberapa kesempatan dengannya ! Kenapa dia nggak meneruskan bisnis ayahnya ?".
"Saya juga tidak mengerti. Sebenarnya dia di sini diminta untuk membantu saya di Showroom, tetapi dia justeru asyik dengan buah-buahannya dan anak asuhnya,". Aku langsung teringat dengan anak jalanan yang kini direkrut bang Jun untuk menjadi rekannya berdagang.
"Tentu sulit ya menjalankan bisnis sendiri !".
"Sulit memang, tetapi saya memiliki tim yang cukup bisa diandalkan karena kematangan mereka yang telah lama bekerja dengan papa,"
"Termasuk Brinto ?".
"Ya, termasuk dia,"
"Saya pernah bertmu dengannya beberapa kali sewaktu membeli mobil disini, dia banyak membantu saya,"
" Oh ya ? Dia memang baik, tetapi sedikit cerewet, terutama pada karyawan," timpalku.
"Saya rasa wajar dia seJadi, sekarang dia seperti itu untuk mendisiplinkan karyawan. Ngomong-ngomong dimana dia sekarang ?".
"Dia ke Medan membantu papa disana,".
"Jadi, hanya berapa lama dia disini? setahu saya dia masi baru !".
"Nggak juga, dia sudah ada disini sejak Showroom buka. Sudah kebiasaan papa begitu Showroom buka baru, pak Brinto yang ditempatkan untuk mengelolanya, hingga ditemukan seseorang yang bisa dipercaya mengelola perusahaan,".
Aku terdiam saat Mak Idah dan Mak Etek menghidangkan kami kue basah dan buah. Ku pilih jeruk sebagai pencuci mulut.
"Di Medan buka Showroom baru ?"
"Oh nggak, kebetulan bisnis papa yang disana ada masalah. Pak Brinto diminta untuk mengatasi. Tadinya papa berniat memintanya ke Bandung, untuk mengelola kebun disana, tetapi karena showroom sedang bermasalah di Medan, papa memintanya kesana dulu," Aku meletakkan sebagian jerukku.
"Showroom di Medan bermasalah ? bukannya yang disana masih baru? Kalau tidak salah saya belum genap dua tahun,".
"Iya, sayangnya saya belum mendapatkan informasi rinci tentang masalah yang terjadi. Tetapi kemarin papa sempat menyebut-nyebut tentang surat-surat palsu.., oh ya ampun, bagaimana mungkin,"
Aku terhenti bercerita dan menyelidiki mimik penyidik ini. Baru ku sadari ternyata sedari tadi dia telah mengumpulkan informasi yang diinginkannya dariku.
Ia menatapku penuh selidik. "Sebaiknya ceritakan saja apa yang anda rasakan saat ini, itu akan sangat membantu kami," ujarnya.
"Bukan begitu, tetapi saya merasa ada yang janggal dengan masalah mobil ini. Apakah sebaiknya kita balik ke kantor saya dan kembali membaca laporan penjualan itu ?" usulku.
Harri Purnomo bangkit dari kursinya. Akupun berniat berdiri mengikutinya. "Tunggu sebentar," ujarnya sebelum aku berdiri. Niat untuk mengikutinya dan kembali ke kantor tertunda. Aku duduk sendiri.

Bagaimana mungkin aku tidak menaruh curiga tentang hal ini. Papa sengaja menyembunyikannya dariku. Dan penempatan aku di Showroom serta tidak adanya ketegasan agar bang Jun sengaja dibiarkan.

to be continued

Tidak ada komentar: