Minggu, 06 September 2009

3. Imah

Meoung, meoung, meong. Lamunanku dikagetkan nada dering meongan kucing di handponeku. Imah, adik sepupuku yang juga kuliah di Singapura. Selama disana, kami berdua menyewa apartemen dikawasan Yisun. Imah anaknya sederhana, bersahaja dan apa adanya. Beda jauh denganku yang super modis, dan lebih menonjolkan keseksian bodiku yang memang bak bodi model, tetapi nggak seronok.

Sedangkan Imah, meskipun dia juga memiliki bodi yang gak jauh beda denganku, tetapi tak banyak yang tahu tetap menutup rapat-rapat hal itu. Karena memang dia mengenakan gamis dan kemana-mana menggenakan jilbab lebar. Udah gitu gamis yang digunakannya itu tidak hanya satu lapis, melainkan ada lagi pakaian di dalamnya. Pokoknya ribet. Tetapi pemandangan itu sudah terbiasa bagiku selama tiga tahun tinggal bersama.

Meskipun dia orang yang 'alim', tetapi tak seperti kebanyakan orang yang pernah ku temui sewaktu aku masih kuliah di Batam dulu. Mereka yang mengaku lebih mengetahui agama dengan cara menggenakan gamis, terkadang terlalu memandang rendah terhadap orang lain yang tidak sama dengannya. Tak jarang mereka membuang muka begitu melihat perempuan lain yang menggenakan pakaian seksi. Selain itu, diantara mereka yang kalau diajak ngobrol sinis, bahkan ada yang ketus.

Beda jauh dengan Imah yang bernama lengkap Muthmainah Azzahra itu. Ia anak om Ibrahim, kakak ibu nomer dua. Diatasnya ada Bang Jun, Izura Eka Ahmed Ibrahim, sedangkan si bungsu yang terakhir aku ketemu lima tahun lalu bernama Rahman Ahmed Ibrahim masih berusia lima tahun, mungkin kini sudah besar, bisa jadi sudah kelas lima SD.

Imah anak periang, meskipun di hadapan kalayak ramai ia terkesan pendiam. Hal itu katanya untuk menjaga image orang mukmin, karena sesungguhnya apa yang dilakukan orang mukmin lainnya akan menjadi gambaran tentang orang mukmin lainnya bagi orang-orang non mukmin.

Gadis yang pernah menimba ilmu di sebuah ponpes ternama di Jawa Timur itu dalam berbicara sangat lembut. Yang tentu saja berbanding terbalik dengan aku yang lebih banyak juteknya. Tetapi, begitu melihat dia marah, ketegasan keluar dari bibir mungilnya.

Pernah suatu kali aku mengerjainya saat bercanda dengan mengangkat jilbabnya dari belakang, kala itu aku hanya berniat mengusilinya, karena dia begitu serius membaca buku saat menunggu bus menuju kampus.

Melihat hal itu tentunya orang-orang yang berada di halte melihat kearahnya. Saat dia menyadari dirinya menjadi objek kejahilanku, dia hanya diam dan membenarkan jilbabnya. Tetapi jangan disangka hal itu selesai begitu saja. Begitu kami bertemu di rumah, dia lansung menegur aku.

"Kak, kita boleh bercanda, tetapi jangan jadikan aurat sebagai bahan untu dibecandain, sama saja kakak menghina saya," ucapnya sembari duduk di tempat tidur.

Meskipun sedang marah, tetapi cara bicaranya tetap lembut, tetapi begitu ku perhatikan lebih dalam, ternyata dia sempat meneteskan air mata. Melihat itu, aku lansung merangkulnya dan meminta maaf. Sejak itu, sungguh aku tak berani menjadikan apa yang disebutnya dengan menjaga aurat, menjaga kesopanan untuk dijadikan bahan candaan.

"Assalamualaikum," terdengar suara di seberang yang mengagetkan lamunanku.

"Waalaikum salam, Mah, akan udah nyampe, tapi belum ketemu sama Om, kakak lagi dirumah, nanti malam kakak kerumah Imah," ujarku yang tanpa menunggu tanggapan darinya.

"Kak, kayaknya kakak nggak bisa sampaikan pesan Imah ke Papa, karena tadi pagi papa dan mama ke Bandung, ada proyek yang harus diselesaikan disana. Tetapi Imah dapat kabar kalo Abang Jun di Batam sekarang. Dia sudah pulang dari Padang, dan mungkin akan menetap lama di Batam. Mama minta agar hal ini disampaikan ke Akak," terdengar tarikan nafas Ima.

"Mama minta agar kakak sedikit memperhatikan abang, karena kata mama, akhir-akhir ini dia seperti orang stress, berantakan, kalau bisa kakak tolong nasehatin dia untuk lebih rapi, dan ingatkan agar dia makan teratur," cerocos Imah.

"Kakak, oleh-oleh yang dari Imah untuk dia tolong jangan dikasi dulu, nanti Imah kabari lagi kapan akan diberikan, udah ya kak, Imah ada kuliah ni, nanti Imah hubungi lagi. Assalamualaikum". tut.tut.tut.

Belum sempat aku menjawab salamnya, telepon sudah dimatikan. "Waalaikum salam," jawabku.

to be continue

Tidak ada komentar: