Minggu, 06 September 2009

5. Terjebak

Fuih, akhirnya aku sampai juga di rumah, setelah seharian berkutat dengan berbagai pekerjaan di showrom. Sebenarnya aku tidak mau menerima apa yang ditugaskan pada ku. Tetapi, keadaan tidak memungkinkan aku lepas dari tanggung jawab. Gaji pekerja harus dibayar, sebelum itu aku harus audit dulu pembukuan dan berbagai laporan lainnya, tentunya harus ada tanda tanganku. Begini deh jadinya, aku sampai di rumah setelah jam 9 malam, pastinya orang-orang dirumah sudah pada selesai makan malam..

Cuapek banget. Apalagi yang ku lakukan kalau sudah begini kalau tidak berendam di kamar mandi dengan air panas dan memakai minyak zaitun. Aromanya yang khas akan menghilangkan keletihaan ini.

Tiba-tiba pintu kamarku di ketok, aku yang masih berbusa-busa nongol di pintu kamar mandi, ternyata mak datang dan mengabarkan bahwa nasi dan lauk sudah tersedia di meja. Akupun cepat-cepat menyelesaikan mandiku, karena memang perutku sudah sangat keroncongan. Usai sholat Isya, aku turun kebawah.

Keningku lansung berkerut ketika melihat tiga orang duduk di meja makan, mereka tidak lain Bang Jun, Rahman, dan Mak. "Belum pada makan ya?"

"Iya neng, mas Jun dan Rahman sudah nungguin dari tadi, kayaknya mereka udah pada laper nih,".

Tanpa banyak bicara, nasi yang kuambil kusantap. Keheningn tercipta saat makan. Yang terdengar hanyalah bunyi sendok beradu dengan piring dan bunyi kunyahan kami. Aku menikmati makan malam ini, tanpa bersuara tentunya. Usai makan tanpa banyak cakap aku kembali naik ke kamarku.

Paginya aku ketiduran. Aku baru terbangun pukul 06.15, akupun tergesa-gesa mengambik wudhu, sholat subuh. Jadwal yang sempat kususun semalam berantakan. Aku yang seharusnya joging pagi, harus buru-buru pergi kekantor untuk mencek pekerja, sesuai amanat papa.

Di shoroom aku melihat Pak Brinto memberi pengarahan pada pekerja. Seperti yang sering ku saksikan dulu, Pak Brinto tak henti-hentinya memberi nasehat agar pekerja bekerja dengan ulet. Tak heran bagi pekerja-pekerja di Bandung ia digelar dengan sebutan Pak Nyinyir, tentu saja gelar itu hanya untuk kalangan pekerja saja, tanpa diketahui pak Brinto. Meskipun begitu, ia adalah pria yang sangat bertanggung jawab pada pekerjaanya, dan menjadi orang kepercayaan papa.

Akupun diminta untuk memberikan pengarahan. Karena sudah melihat wajah-wajah mereka yang sudah bosan dengan nasehat pak Brinto setiap hari, aku tidak mau memberi mereka ceramah lama-lama. "Saya harap kalian bisa bekerja dengan hati, dan lakukan yang terbaik," itulah kata-kata yang ku ucapkan pada mereka. Tampak diantaranya menghembuskan nafas lega. Mungkin takut terlalu lama berdiri. Pak Brinto pun membubarkan kumpulan pekerja yang tak lebih dari 20 orang tersebut.***

Tanggung jawab yang ku lakukan dalam bentuk pengabdian pada amanat papa ternyata berlanjut hingga dua bulan. Selama itu pula aku seolah lupa dengan impianku. Dan ternyata komunikasi di rumah tidak baik denganku. Aku seolah sendiri dirumah. Bang Jun dan Rahman selalu diam ketika dimeja makan, ketika aku pulangpun mereka sedang asik dengan dunianya. Aku kesepian.

Tak seorangpun peduli padaku. Papa sibuk dengan urusan bisnisnya di daerah lain, mama mengikuti kemana papa pergi. Aku benar-benar terjebak dengan limpahan tugas yang diberikan papa.

Tak pernah terpikirkan aku akan seperti ini. Hidup bak wanita karir yang hanya mengejar kesuksesan tanpa memikirkan yang lainnya. Hidupku berobah total. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan orang terhadapku saat ini, yang jelas mereka pasti mengiraku adalah wanita yang ambisius. It's not me.

Menyadari itu, aku paranoid sendiri. Pelan tapi pasti aggapan aku bak robot semakin lekat begitu melihat tatapan Rahman, Bang Jun dan Mak Yan yang tanpa ekspresi padaku. Dan mungkin mereka seolah menganggap aku sebagai orang yang perlu ditakuti. Bak kucing dibawakan lidi, mereka lebih memilih diam. Bicara jika kutanya. Aku diam, mereka turut diam. Aku tersiksa.

Sarapan pagi, ku perhatikan mereka yang makan tergesa-gesa. Ku suap nasiku pelan-pelan. Ternyata mereka juga mengikutinya. Oh, Tuhan, apa yang terjadi. Begitu meyeramkannyakah aku ?

Pandanganku kabur, air meleleh di mataku. Buru-buru ku seka. Kuputuskan untuk mengakhiri sarapan pagi itu dan akupun berangkat kerja......

to be continue

Tidak ada komentar: