Minggu, 06 September 2009

7. Setreesss

"Cha, aku boleh masuk nggak?" Bang Jun nongol di kamarku setelah makan malam. Sudah kebiasaanku, usai makan malam, aku lansung ke kamar, dan nggak bakal keluar lagi kecuali mau minum atau hal-hal penting lainnya.
"Masuk aja," jawabku.
"Gi ngapain Cha?"
"Nih, lagi meneliti laporan bulanan, ada apa bang? kok nggak biasanya?" penasaran dengan kedatangan Bang Jun yang tidak biasanya.

"Abang mau ngobrol bentar, tapi baiknya jangan disini, nggak baik," ujar Bang Jun, lansung keluar dari kamarku.

Ya. Memang nggak baik ngobrol ama cowok dikamar. Itu adalah prinsip keluarga kami sejak dulu, kecuali saudara kandung. Bang Jun, juga. Dia adalah sepupuku, yang dalam agama Islam bisa dinikahi. Jadi peraturan tak tertulis itu juga berlaku untuknya.

Kuikuti Bang Jun kearah taman belakang. Persis disamping kolam ikan koi dia berhenti dan menghadap kearahku.

"Masih banyak yang mau di periksa?"
"Aa? Oh, lumayan, Icha baru mengerjakan," jawabku gelagapan. Aku bersandar disalah satu tiang rumah. Hm, sudah lama aku tak menikmati malam yang penuh bintang ini. Setidaknya sejak aku masuk di Showroom.

Aku memperhatikan mimik bang Jun, benar kata mama kalau dia lagi berpikir begitu dia sangat mirip papanya. Persis malah.

"Ca, aku rasa kamu sudah mendapat kabar dari om kalau mulai besok aku akan menggantikan Pak Brinto di Showroom. Kamu tau, sebenarnya aku tidak setuju dengan permintaan papamu. Dan aku juga percaya tanpa Pak Brinto ataupun aku, kamu pasti bisa mengendalikan showroom sendiri. Bukan begitu Cha?"

Oh tuhan, dia bertanya sambil tersenyum padaku. Dan itu bukan senyuman yang ku inginkan. Senyuman itu sangat dingin, lebih dingin dari suhu di kutub utara ataupun selatan sana. Aku tau itu sangat hiperbola, tetapi aku tidak tahu lagi andaian apa yg cocok untuk menggambarkannya. Yang jelas aku tidak menyukainya.

"Meskipun itu benar, aku masih berharap abang mau membantuku. Karena terusterang saja, aku kewalahan sendiri, dan aku sangat ingin lepas dari belenggu ini." Dia mengerutkan kening tak mengerti.

"Ya, mungkin abang gak percaya, tetapi itulah kenyataanya. Saya ingin keluar dari Showroom, dan saya ingin abang sebagai orang yang di tunjuk papa untuk menggantikan saya."

"Kok jadi begini sih? Sayakan disuruh hanya untuk bantu kamu, bukan menggantikan. Kenapa kamu berpikiran saya akan menggantikan mu ? Kok kamu kecil hati begini?"

"Maksud abang apa?"

"Kamu nggak suka saya kerja di showroom, bilang aja. Nggak usah pakai acara bilang mau keluar!"

"Aku nggak nyangka ya, penilaian abang segitu buruknya ke aku, sekarang terserah abang mau kerja di showroom apa tidak. Kalau begini kenyataanya, ku peringatkan sebaiknya abang tak usah kerja di showroom, atau aku yang keluar dari sana.!!".

"Yah, memang sebaiknya begitu." Dia pergi.

Brengsek, rencanaku berantakan. Hayalanku untuk lepas dari belenggu tanggung jawab yang diberikan papa berakhir sudah. Impianku untuk memiliki butik tertunda lagi. ***

Mataku rasanya perih. Semalaman aku tidak tidur, memikirkan rencanaku selanjutnya. Rencana yang bebas dari belenggu tanggung jawab papa.

Meeting pagi ini serasa lebih berat ku jalankan. Meskipun enggan, aku terus saja ngoceh sana sini kepada karyawanku. Astaga, aku semakin mirip dengan pak Brinto yang terlalu banyak pengarahan. Tetapi apa boleh buat, kepalaku rasanya mumet, aku harus mengeluarkan semua yang ada di dalamnya. Alhasil, ceramahku memakan waktu lebih dari setengah jam. Showroom yang biasanya buka tepat pukul 09.00 pagi, harus tertunda hingga pukul 10.30.

Usai ngoceh sana sini, aku menuju ruang kerjaku. Baru menghenyakan pantat di kursi tiba-tiba Ani salah satu cleaning service masuk dan menawarkan aku minuman.

"Saya mau di buatkan kopi ginseng, dan jangan lupa air putihnya," pesanku. Iapun bergegas keluar meminta pesananku.

Meskipun dengan mata yang pedih dan sedikit bengkak karena tidak tidur semalaman, aku masih bersemangat kerja. Malah lebih bersemangat dari sebelumnya. Pukul 11.15, aku sudah duduk di ruang meeting membicarakan rencana cuci gudang spare part. Usai meeting pukul 13.20 meeting berakhir. Waktu makan siang ku manfaatkan untuk keluar dari showroom dan keliling Batam. Memasuki kawasan Batu Aji, perumahan yang padat dan jalanan berlobang, serta debu tebal. Tak heran kalau akhir-akhir ini pemberitaan mengangkat penderita Ispa yang sangat tinggi. Karena memang debunya begitu tebal.

Aku meminta Andi untuk masuk ke kawasan pasar Aviari. Suasana pasar sudah lengang. Yang tampak hanya sejumlah pedagang yang sedang membereskan dagangannya. Dibagian lain terdapat segerombolan pedagang buah tertawa-tawa. Mereka begitu senang bergurau dengan sesamanya. Sementara aku, sejak pagi belum tertawa sedikitput. Mak lampir sekalipun akan tertawa, meskipun tawanya menyeramkan.

Benarkah aku seperti Mak lampir yang di katakan Bang Jun? Bang Jun? bukankah itu bang Jun. Tapi, nggak mungkin. Oh Tuhan, itu Bang Jun. Dia membawa dua keranjang kosong dan membantingkannya ke salah satu meja kosong disamping kelompok penjual buah yang tadi tertawa. Bang Jun bergabung disana. Ikut tertawa.

"Kita turun mbak ?" Andi ternyata memperhatikanku dari tadi. Dan menawarkan agar aku turun. Mungkin maksudnya agar aku melihat lansung aktifitas Bang Jun.

"Itu memang Mas Jun Mbak, dia jualan buah," ujar Andi tampa ku minta.

"Sudah sejak kapan kamu tahu hal ini ?"

"Sejak Mas Jun balik dari Padang, dia memang jualan buah, tepatnya toke buah".

"Toke ? masa ? Berapa banyak anak buahnya ?"

"Wah, saya nggak tau mbak, yang jelas banyak. Belasan, bahkan mungkin lebih dari dua puluh,".

"Sebanyak itu ?" Pertanyaanku hanya di jawab senyum tipis oleh Andi.

Kalau memang anak buahnya sebanyak itu, berarti dia cukup sukses juga. "Kamu tau berapa banyak kedainya?"

"Wah saya nggak tau mbak, tetapi setau saya kedainya ada di sini, di Batam Centre, di Nagoya dan Jodoh. Tetapi saya nggak tau jumlah pastinya," ujarnya.

Pantesan dia nggak mau mengelola showroom. Sekarang aku baru tahu kalau dia juga memiliki pekerjaan sesuai keinginannya. Pakaiannya yang selalu lecek, bau itu telah mengelabuiku selama ini. Aku nggak menyangka anak orang kaya seperti dia mau bekerja di pasar menjadi penjual buah, dan rela kulitnya gosong. Padahal dia tak kalah gantengnya dengan model-model di majalah ataupun artis-artis sinetron di televisi itu.

"Andi, kita balik, siggah dulu Rumah Makan Pak Raden. Kita makan disana," instruksiku pada Andi. Tak ingin menunda rasa laparnya terlalu lama, Andi lansung tancap gas.

Jam setengah enpat sore aku sudah duduk lagi di kantor. Kembali menekuni pekerjaanku.

"Bu, ada tamu dari kepolisian," ujar Meta, sekretarisku melalui telepon.

"Suruh masuk," ujarku.

'tok.tok.tok' "Permisi bu,"

"Masuk".

"Selamat sore Bu Icha, perkenalkan saya Bagas, penyidik dari Poltabes Barelang, dan ini rekan saya Edward dari Polda Kepri. Kami kesini ingin meminta bantuan anda dalam kasus penyeludupan sparepart dan mobil mewah dari luar ke Batam." ujar Bagas sembari memperlihatkan kartu tanda pengenalnya padaku.

Deg-deg, jantungnya berdetak kencang. Tetapi aku masih bisa menahan diri untuk tidak gemetar. "Silahkan duduk," akhirnya kata itu keluar juga dari bibir ku.

Kedua tamuku itu duduk di kusri tamu yang tersedia di bagian kanan meja kerjaku. Aku mengikuti tamuku untuk duduk bersama.

"Maafkan kami bertamu terlalu sore, sebenarnya kami ingin menemui Ibu, setelah rapat tadi, tetapi Ibu lansung keluar?" Ujar Bagas.

"Oh, jadi anda berdua telah lama menunggu saya ?"

"Ya, tepatnya sejak pukul 11.00 tadi pagi. Kami mencoba menghubungi telepon genggam anda tidak aktif," Edward buka suara. Dari cara bicaranya, tampak kalau dia sedang tidak baik-baik saja. Lebih tepatnya gusar.

"Maafkan saya pak Edward, sudah kebiasaan saya kalau rapat mematikan Handpone, saya tidak mau rapat saya terganggu," tegasku.

"Bagaimana dengan pesan kami kepada sekretaris anda tentang kedatangan kami?" tanyanya menyelidik.

"Saya tidak menerima pesan apa-apa dari sekretaris saya. Mungkin karena usai meeting tadi saya lansung keluar, dan dia tidak sempat mengatakannya kepada saya," jawabku sambil menantang tatapan matanya yang tajam, lebih tajam dari mata pisau kearahku.

"Baiklah, kita lansung saja ke pokok persoalan, kami kesini ingin meminta kerjasama ibu atas dugaan penyeludupan mobil mewah dari luar negeri ke sini," Bagas lansung mengarahkan pembicaraan ke topik permasalahan. Ia menghela nafas dan melanjutkan pembicaraannya.

"Saat ini kami sedang menyelidiki kasus penadahan mobil dari luar yang tidak mengikuti prosedur. Dan kami menemukan sesuatu yang mencurigakan di showroom anda. Apakah anda ingat dengan mobil ini?"

Dia menyodorkan mobil buatan Italia buatan tahun 2008 lalu. Aku mengenalinya, itu adalah salah satu mobil mewah yang terbaik yang pernah ku lihat.

"Apa maksud anda dengan ingat ? Saya hanya tahu sedikit dengan mobil, kebetulan jenis mobil itu beberapa bulan lalu kami punya dua, dan sudah terjual keduanya." ujarku.

"Hanya dua ? bagaimana dengan yang ini ?"

"Sejauh yang aku tahu, hanya ada dua, warna itu nggak ada, kecuali di cat baru. Kalau di cat baru, kami pasti tahu, karena masih garansi, coba kami cek di bagian service," jawabku.

Aku berjalan ke samping mejaku, dan menekan nomer Meta, sekretarisku.

"Ya Mbak," suara meta terdengar.

"Tolong kamu panggil Pak Ikmal dan Pak Ahmed ke ruangan saya sekarang," ujarku.

Pak Ikmal adalah manager penjualan dan Pak Ahmed adalah manager bengkel.***

to be continue

Tidak ada komentar: