Minggu, 06 September 2009

4. Kebaikan Bang Jun

Usai mandi, aku baru keluar kamar sekitar pukul 18.15, tentunya dah selesai sholat magrib dunk. Meskipun sedikit capek habis muter-muter Batam Centre, Nagoya, pegal juga badan ini. Tetapi lumayan, habis mandi dengan air panas, rasa letih itu sedikit berkurang.

Aku menghampiri Mak Yan yang sedang menata meja makan. "Masak apa mak ? banyak amat, kayak ada hajatan aja," ujarku yang melihat banyaknya lauk yang dimasak, padahal yang dirumahkan tak berapa orang, kecuali dimasukin kucing-kucing tetangga, mungkin bakalan rame...hehehe becanda.

Tentu saja aku melotot, bagaimana tidak, lihat aja di atas meja, nasi sebakul gede, lauknya empat macam, ada ayam goreng, ikan asam pedas, rempela goreng kentang, dan rendang. Apa gak seperti ngasi makan se RT coba. Padahal yang mau makan cuma empat orang, aku, Rahman, Bang Jun, dan Mak Yan.

"Hm, kayaknya enak ni, makan-makan, Man, makan, cepat, ntar gak kusisain baru tahu rasa," tiba-tiba sesosok pemuda kurus kering muncul dari lantai atas. Astaghfirullah, rambutnya masih basah, ketara sekali baru selesai mandi. Dibelakangnya menyusul seseorang yang tingginya sebahuku, tak jauh beda dengan sosok yang pertama, rambutnya belum kering, bahkan masih menetskan air. Mungkin tak dikeringkan dulu sebelum turun. Keterlaluan.

"Eh, apa-apaan ini, berantakan gitu sudah mau makan, mandi itu yang benar, kayak orang nggak makan seminggu aja," ujarku seraya menghalangi Bang Jun yang hendak mencomot ayam goreng.

"Enak aja, inikan sudah selesai mandi, masih kecium wanginyakan? lapar-lapar," selah tidak menghiraukanku, .Bang Jun berusaha merebut ayam yang masih kubuat menggantung diudara. Tentu saja aku kalah sama dia, karena tangannya yang kurus itu panjang dan berhasil menjangkau ayam goreng ditanganku. Tentu saja aku kelabakan dibuatnya.

"Abang, mandi itu yang sempurna, masa masih basah-basah gitu udah mau makan, di keringkan dulu rambutnya, ini juga, sama aja dua-duanya, kayak orang kelaparan kali, Rahman, kamu ngertikan, sekarang kembali keatas, keringkan dan sisir rambutmu baru makan, kalau tak ingin ku laporin ke mama dengan tingkah kalian yang tak tau sopan ini, " ujarku.

Dari pandanganku, awalnya Rahman mau memprotes, tetapi akhirnya dia diam begitu di kode oleh bang Jun untuk ke atas.

"Man, yuk balik, ada nenek lampir, ntar kita diaduin ke mama lagi. Kamu mau nggak dikasi uang jajan," ujarnya sambil berlari. Fuih, dasar...

"Mereka selalu begitu ya Mak?" tanyaku ke Mak Yan.
"Ah nggak kok neng, baru kali ini begitu," ujar Mak Yan sedikit gugup.
"Benar begitu Mak, Mak nggak usah sekongkol sama mereka, nggak ada gunanya, sudah besar nggak ada sopan santunnya gitu," ujarku kesal karena Mak Yan seolah melindungi dua orang yang menyebalkan itu.

Tiba-tiba aku sudah nggak mood untuk makan. Aku memutuskan untuk keluar membawa mobil..mungkin mencari makananm. Aku sudah tak mood lagi untuk makan dirumah.

"Mau kemana neng? nggak makan dulu, ntar makanannya keburu dingin," ujar Mak Yan menegurku.

"Mak makan aja dulu bareng yang lain, saya nggak napsu makan, mau cari angin dulu," ujarku berlalu.

Meski gerakanku cepat, aku masih smepat melihat mimik Mak Yan ingin berkata sesuatu, teapi ia urungkan. Dan akupun melangkahkan kaki lebih cepat untuk keluar ruamh. Syuku-sukur mencari makan diluar. Dari pada dirumah, ngebetein.

Sekitar pukul 22.15 aku sampai dirumah, kulihat tiga orang itu sedang asik menonton televisi, entah apa yang ditontonnya, mungkin sinetron yang ceritanya nggak karu-karuan itu. Yah memang, beberapa tahun belakangan sinetron di Indonesia lebih mengarah ke eksploitasi anak, memaksakan anak untuk berakting jauh lebih dewasa dari usianya yang seharusnya. Sudah gitu, begitu rating sinetron itu mulai naik, sutradara dan produsernya seolah bersekongkol untuk memperpanjang jalan ceritanya sehingga tak karu-karuan...dan yang penting tidak banyak mendidik...

"Assalamualaikum..." salamku begitu tiba beberapa langkah dari mereka.

"Walaikumsalam," jawab mereka seolah tak bagitu peduli, karena muka mereka tak beranjak dari tivi. Aku tak menghiraukan respon mereka yang tak acuh itu, akupun menhempaskan diri di kasur dan akhirnya tertidur karena kelelahan.

'Tok, tok, tok, neng," ketukan pintu diiringi suara Mak Yan membangunkanku. Kulihat jam di pergelangan tanganku menunjukan pukul empat subuh, aduh kepala rasanya masih terasa berat.

"Astaghfirullah, aku belum sholat Isya," ujarku kaget.

Tanpa menghiraukan Mak Yan yang telah membangunkanku, aku langsung berlari kekamar mandi untuk wudhu yang kemudian sholat isya. Begitu selesai sholat aku sudah tak melihat wajah Mak Yan lagi. Akupun penasaran dan menyusulnya yang ternyata sedang membuat sayur.

"Mak tadi kesaya ada apa ya?" ujarku sembari bertanya kearahnya.

"Eh eneng, sebenarnya mak cuma mau minjam mobil untuk pergi belanja ke pasar pagi sama bapak. Boleh neng?" tanyanya.

Mendapatkan pertanyaan begitu aku lansung ketawa. "mak ini gimana sih, kan biasanya mak pergi belanja pakai mobil itu, kenapa harus minta ijin sama saya dulu, memangnya eraturan dirumah ini sudah berubah ya mak?"tanyaku sembari mengambil air minum di dispenser.

"Anu, neng, mak cuma tidak ingin membawa mobil tanpa ijin, selama inikan Mak Ijinnya sama ibuk, sekarang nggak ada ya sama Neng," ujarnya.

"Oh, ya udah, bawa aja, hati-hati dijalan, bilangin sama bapak untuk pastiin mobil terkunci sebelum masuk kedalam pasar, ntar masuk maling lagi, sekarang inikan orang mudah saja baginya untuk mencuri mobil," uajrku.

"Ya neng, mak berangkat dulu" ujarnya lagi sembari berlalu.

"Mak, jangan lupa bawa kunci, saya mau keluar," ujarku dipintu. Kemudian ngeloyor kekamar untuk mengambil mukena. Aku sholat subuh ke masjid, dan setelah itu mau lari pagi biar segar.***

Begitu sampai dirumah, pukul 6.30 pagi, kulihat mak sedang mencuci mangkok. dan, ya ampun begitu banyak piring yang kotor. Aku penasaran, siapa sih yang makan sampai segitunya.

"Mak, kok mangkuknya banyak sekali, memangnya berapa orang yang makan? tanyaku.

Yang ditanya malah tersenyum kearahku. "Menurut Neng siapa?" ujarnya sembari memberi tunjuk alisnya kepada kearahku. Disaat itu aku melihat bayangan Bang Jun dan Rahman melintas menuju depan.

"Sampai segitunya Mak? jadi yang mak masak semalam itu juga untuk mereka. Mak, mereka jangan dimanjain gitu, jangan berlebihan. Diluar sana banyak orang yang kelaparan karena nggak sanggup beli beras dan lauk, ini hanya untuk mereka disuguhin lauk yang beraneka ragam," ujarku sedikit keras.

"Maaf Neng, bukan maksudnya mak menyela, lauk yang semalam juga nggak dihabisin semua oleh mereka,"

"Lantas dikemanain? nggak ada lagikan sekarang!" ujarku.

"Nah itu dia yang mak nggak tau neng, yang jelas makanan itu di bungkus, tapi mak tak tau dibawa kemana," ujar Mak Yan.

"Ya sudah, pokoknya mak jangan masak banyak lagi tanpa seijin saya, saya mau cari dulu untuk apa makanan itu," ujarku yang kemudian beranjak ke kamarku dan mandi. usai sarapan pagi, aku meluncur ke shorum kami di Nagoya.

Lama tak ke Shorum, ku lihat sudah banyak perubahan yang terjadi disana. Selain pembongkaran sekat-sekat yang dulunya terdapat di lantai dasar, juga telah terjadi perombakan besar-besaran seperti penambahan lantai sebanyak dua tingkat ke atasnya. Gedung yang sebelumnya hanya dua lantai itu kini sudah empat lantai, dan nampak sedikit megah, meskipun tidak semegah shorum yang ada di Pekanbaru.

Memasuki shorum aku disambut oleh seorang sales promotion girl yang langsung menyambut kedatanganku sembari mempersilahkan duduk di kursi tamu. Sepertinya pegawai ini tidak mengenalku, dan akhirnya kuputuskan untuk menguji service tamu di showrum itu.

"Ada yang bisa kami bantu bu? atau ibu mau melihat-lihat brosur kami dulu, kalau mau mobil terbaru ini bu, kalau yang ini model terbaru, baru keluar sebulan yang lalu, ini sangat cocok dikendarai oleh wanita, stok terbatas lo bu," ujar sales tesebut sembari memperlihatkan sebuah mobil yang ku tau memang keluaran terbaru.

Selagi asik-asiknya bertanya ini itu kepada sales yang memang cantik itu, pundaku di tepuk oleh seseorang dari belakang.

"Ca kapan balik, gimana dengan nilai-nilainya? baguskan? bagus dong, ayo ke dalam," ujar Pak Brinto.

Melihat pak Brinto aku lansung menyalaminya. "Apa kabar pak? ternyata bapak masih di Batam, bukannya di tarik ke Jakarta?" tanyaku.

"Bapak sudah sejak empat bulan ini di Batam, Bapak diminta papamu untuk menggantikan dia selama persiapan pembukaan shorum di Palembang. Oh ya, kamu mau lansung bekrja hari ini atau melihat-lihat saja dulu. Berkenalan dengan staff, sini bapak ajak keruanganmu," ujarnya mengajakku untuk beranjak ke lantai atas.

Tentu saja ajakannya itu membuatku heran. Bukannya aku disuruh papa hanya mengontrol showroom saja? bukan total bekerja. Lagipula aku punya impian sendiri, dan bukan bekerja di showroom papa.

"Pak, kata siapa saya akan bekerja disini? saya hanya ditugasin papa untuk mengontrol saja, bukan bekerja seperti yang bapak bilang," ujarku yang menahan ajakan Pak Brinto.

"Baiklah, tetapi sebaiknya ini kita bicarakan di ruangan saya, tak enak didengar kariawan," ujar Pak Brinto memberi solusi. Akhirnya ku mengikutinya menuju lift untuk ke lantai atas.

Sebenarnya penolakanku untuk tidak bekerja di showroom papa bukan tanpa alasan yang jelas, hal itu dikarenakan aku tidak mengerti banyak tentang otomotif. Selain itu, aku juga ingin membuka usaha sendiri yang dimuali dari hal kecil, dan bukan mengandalkan usaha orang tua semata. Hal ini sebenarnya sudah lama menjadi topik perselisihanku dengan papa.

to be continue

Tidak ada komentar: